Free Windows Wallpaper

we give information and picture wallpaper : Windows XP, Nice Wallpaper XP, Windows 3D, Windows 7, Windows Desktop, Windows Natural XP and more

dasar Hukum ekonomi Syariah

By Djenar Siti

1. Landasan syariah
Pada dasarnya, setiap manusia diperintahkan untuk bekerja dan berusaha dalam rangka memperoleh penghidupan yang layak. Kegiatan ekonomi dilakukan dengan prinsip-prinsip tertentu serta sejalan tujuan awal, yaitu mencapai kesejahteraan hidup.
Islam sebagai agama yang sempurna pun tidak hanya mengajarkan kepada umatnya untuk beribadah semata, melainkan juga bekerja untuk memperoleh rezeki dengan cara yang benar menurut aturan syariat. Kegiatan ekonomi bukan semata-mata dilandai oleh motif ekonomi semata, melainkan lebih dari itu, kegiatan ekonomi dalam perspektif ekonomi syariah merupakan wujud perbadatan kepada Allah SWT. Hal tersebut sesuai dengan prinsip ekonomi syariah yang menegaskan bahwa implikasi kegiatan ekonomi bukan hanya dalam konteks duniawi semata, melainkan juga implikasi ukhrawi (ibadah).
Dalam lingkup muamalat, salah satu kaidah yang berlaku adalah al-ashl fil-muâmalat al ibâhah illâ mâ harrama alaih, yaitu asal dari segala aktivitas muamalat adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Kaidah tersebut sering diistilahkan dengan the principle of permissibility. Mengingat bahwa ekonomi dan perdagangan termasuk bidang muamalat, maka semua bentuk transaksi hukumnya boleh, kecuali ada dalil yang jelas-jelas mengharamkannya. Dalam konteks inilah, hukum Islam memegang prinsip terbuka, termasuk dalam perbankan dan lembaga keuangan non bank lainnya.
Penyelenggaraan ekonomi syariah memiliki landasan yang kuat dalam Al Qur’an. Dalam QS Al Nisa ayat 4, Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Ayat tersebut menegaskan bahwa dalam melaksanakan kegiatan muamalah, Setiap individu dilarang untuk saling merugikan, berbuat curang, dan melakukan tindakan penipuan. Penegasan ini merupakan landasan kuat penyelenggaran ekonomi syariah yang sejatinya mengaktualisasikan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan prinsip saling menguntungkan.
Zainuddin Ali mengemukakan bahwa dalam ekonomi syariah, harta merupakan amanat dari Allah SWT, karena itu harta tersebut harus diperoleh dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kemashlahatan umat. Dalam konteks ini, Allah SWT berfirman:
Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.
2. Landasan konstitusional
Penyelenggaraan kegiatan usaha berbasis syariah di Indonesia dilandasi oleh fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI mengenai kebolehan melakukan aktivitas usaha berbasis syariah, misalnya perbankan syariah, asuransi, reksadana syariah, obligasi, dan pembiayaan syariah. DSN-MUI adalah lembaga yang dibentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berwenang untuk menetapkan fatwa produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank berdasar prinsip syariah. Hingga saat ini, DSN-MUI telah mengeluarkan 53 fatwa mengenai kegiatan ekonomi syariah. Fatwa tersebut antara lain:
a. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.01/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Giro,
b. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.02/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Tabungan,
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.03/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Deposito,
d. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.04/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Murabahah,
e. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.05/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Jual Beli Saham,
f. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.06/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Jual Beli Istishna’, dan
g. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.07/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Pembiayaan Mudharabah (qiradh) .
Menilik secara historis, kegiatan ekonomi syariah diakui secara yuridis sejak lahirnya UU No.7 Tahun 1992 yang kemudian diubah menjadi UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-undang tersebut merupakan perundangan yang memberikan jalan bagi lembaga perbankan-bank umum dan bank perkreditan rakyat-untuk memberikan layanan pembiayaan berdasar prinsip syariah, yaitu prinsip bagi hasil.
Dalam pasal 6 huruf m ditegaskan bahwa bank umum konvensional dapat menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank-bank umum konvensional diizinkan untuk melakukan pembiayaan berdasar prinsip syariah, yaitu bagi hasil. Ketentuan tersebut dilandasi oleh kecenderungan di masyarakat yang menunjukkan peningkatan kebutuhan masyarakat akan pembiayaan perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah.
Pasal 13 huruf c UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menyebutkan bahwa Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dapat menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank Perkreditan Rakyat merupakan salah satu bentuk usaha bank yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kredit dan pembiayaan tertentu kepada masyarakat. Pasal tersebut memberikan kesempatan bagi BPR untuk melakukan pembiayaan berdasar prinsip syariah sebagai upaya menjawab keinginan masyarakat, khususnya nasabah untuk mengimplementasikan sistem pembiayaan berbasis syariah.
UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama secara eksplisit melegitimasi kegiatan usaha berbasis syariah. Bahkan, dalam penjelasan pasal I angka 37 huruf i menegaskan bahwa kegiatan usaha yang termasuk dalam ekonomi syariah meliputi:
a. perbankan syariah,
b. lembaga keuangan mikro syariah,
c. asuransi syariah,
d. reasuransi syariah,
e. reksadana syariah,
f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
g. sekuritas syariah,
h. pembiayaan syariah,
i. pegadaian syariah,
j. dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan
k. bisnis syariah.
Meski undang-undang ini tidak secara khusus mengatur tentang ekonomi syariah, namun klausul pasal 49 dapat dijadikan sebagai dasar penyelenggaraan usaha berbasis syariah.
Pada tanggal 16 Juli 2008, RUU Perbankan Syariah disahkan menjadi UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Lahirnya undang-undang tersebut merupakan jawaban dari desakan berbagai pihak yang selama ini menginginkan satu regulasi utuh mengenai perbankan syariah. Selama ini, regulasi perbankan syariah masih diatur dalam UU Perbankan yang tidak secara akumulatif merepresentasikan sistem perbankan syariah nasional. Dengan disahkannya RUU Perbankan Syariah menjadi UU Perbankan Syariah, berarti kini perbankan syariah memiliki payung hukum yang selama ini didambakan.
Hadirnya UU Perbankan Syariah sangat diharapkan dapat makin memacu peningkatan peran dan kontribusi perbankan syariah dalam mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta pembukaan lapangan kerja melalui program sosial. Sedang dari sisi komersial, hadirnya UU Perbankan Syariah diharapkan makin memperkuat pijakan hukum perbankan syariah sehingga bisa setara dengan bank konvensional.Undang-undang ini memuat segala ketentuan tentang perbankan syariah, yaitu:
a. Asas, tujuan, dan fungsi,
b. Perizinan, badan hukum, anggaran dasar, dan kepemilikan,
c. Jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana, dan larangan bagi bank syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS),
d. Pemegang saham pengendali, dewan komisaris, dewan pengawas syariah, direksi, dan tenaga kerja asing,
e. Tata kelola, prinsip kehati-hatian, dan pengelolaan risiko perbankan syariah,
f. Rahasia bank,
g. Pembinaan dan pengawasan,
h. Penyelesaian sengketa,
i. Sanksi administratif,
j. Ketentuan pidana, dan
k. Ketentuan peralihan.
Eksistensi UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah menjadi landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan kegiatan perbankan syariah. Beberapa poin penting Undang-Undang Perbankan Syariah ini salah satunya adalah memberikan kewenangan pembinaan dan pengawasan perbankan syariah kepada Bank Indonesia. Kewenangan pengawasan dan kepatuhan juga dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan Dewan Pengawas Syariah yang wajib dibentuk pada masing-masing bank syariah dan unit usaha syariah bank umum konvensional.
Prospek perbankan syariah ke depannya sangat cerah, apalagi mengingat pangsa pasarnya yang sangat besar. Kekuatan yang dimiliki bank syariah sampai akhir 2007, menurut laporan Bank Indonesia adalah tiga bank umum syariah (BUS), 26 unit usaha syariah (UUS), dan 114 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS). Dengan kekuatan ini, perbankan syariah berhasil membukukan 2,8 juta rekening nasabah, sedangkan volume usaha bank syariah hingga akhir 2007 baru mencapai Rp. 36,5 triliun atau sekitar 1,8 persen dari aset perbankan nasional. Sehingga wajar jika kemudian banyak bank-bank konvensional yang membuka cabang syariah secara langsung maupun melalui konversi cabang-cabang.
Dalam konteks operasionalisasi kegiatan penghimpunan dana dan pembiayaan berdasar prinsip syariah, Bank Indonesia mengeluarkan beberapa peraturan menyangkut penyelenggaraan kegiatan usaha tersebut yang termaktub dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Beberapa peraturan yang mengatur tentang penyelenggaraan usaha berdasar prinsip syariah adalah:
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.7/46/PBI/2005 tanggal 14 November 2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi yang Melaksanakan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/Kep/Dir tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/Kep/Dir tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Lahirnya UU Perbankan Syariah diharapkan diikuti pula dengan lahirnya undang-undang lain yang mengatur secara tegas mengenai usaha-usaha ekonomi syariah yang lain. Sebagaimana diketahui bahwa penyelenggaraan usaha ekonomi syariah selain perbankan syariah selama ini hanya mengacu pada fatwa DSN-MUI yang kekuatan hukumnya tidak mengikat dan memaksa, karena fatwa dalam konteks hukum Indonesia merupakan aturan yang bebas untuk ditaati atau tidak. Bagaimanapun, jaminan akan kepastian hukum dalam penyelenggaraan usaha berbasis syariah adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat ditunda lagi.
Payung hukum berupa undang-undang sangat dibutuhkan sebagai pedoman dasar dalam penyelenggaraan ekonomi syariah. Progresifitas ekonomi syariah sangat tergantung pada perundang-undangan yang ada, karena dengan demikian maka legalitas ekonomi syariah bukan lagi menjadi persoalan yang menghambat kemajuan ekonomi syariah selama ini.

akad (perikatan dalam hukum Islam)

By Djenar Siti

Ekonomi syariah sebagaimana dibahas pada bab sebelumnya merupakan sistem ekonomi yang bersumber pada syariat Islam. Dalam konteks ini, syariat sebagai sumber dan dasar ekonomi syariah mencakup beberapa aspek, yaitu prinsip, akad, nilai, dan maqâsîd al syarî’ah. Aspek-aspek syariat tersebut secara kumulatif menjadi pedoman dasar dalam penyelenggaraan ekonomi syariah. Prinsip dasar penyelenggaraan perekonomian dalam perspektif syariah adalah kegiatan ekonomi untuk menghasilkan profit tertentu dengan tetap memperhatikan keseimbangan alam dan terciptanya pemerataan ekonomi pada segenap lapisan masyarakat, serta sebagai wujud pengabdian kepada Allah SWT.
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank atau lembaga keuangan lain dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah . Prinsip syariah merupakan aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank atau lembaga keuangan lainnya dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang atau memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain

Penyelenggaraan usaha berbasis ekonomi syariah ini harus selaras dengan prinsip-prinsip syariah, karena eksistensi prinsip syariah tersebut adalah sebagai koridor yang harus dilalui oleh setiap pelaku usaha.

Perjanjian dalam Islam dikenal dengan istilah al ‘aqd (akad) yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan. Dalam terminologi fiqh, akad didefinisikan dengan ”pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan”. Pencantuman kalimat ”dengan kehendak syariat” maksudnya adalah seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain

Akad merupakan ikatan atau kontrak antara pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha yang sama. Dalam pasal 1 ayat 13 UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah. Bila digeneralisasikan, maka akad merupakan kesepakatan tertulis antara lembaga keuangan syariah dengan pihak lain mengenai hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan prinsip syariah.

Suatu perikatan yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi beberapa rukun dan syarat tertentu agar perikatan yang dibuat tersebut sah dan mengikat para pihak yang terlibat di dalamnya. Hasbi Ash Siddieqy, sebagai dikutip oleh Abdul Mannan mengemukakan bahwa suatu perikatan harus memenuhi empat rukun, yaitu ijab qabul, mahallul ‘aqd, al ‘aqidain, dan maudhu’ul ‘aqd.

a. Ijab qabul
Ijab qabul merupakan rukun pertama dan utama dalam suatu perikatan. Ijab qabul merupakan entitas yang melandasai perikatan yang dibuat oleh para pihak dan menjadi pedoman dalam pelaksanaan kegiatan usaha, baik secara individu maupun secara berkelompok. Pelaksanaan ijab qabul dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu secara lisan (dengan ucapan), tulisan, juga dengan isyarat tertentu bagi pihak yang tidak dapat berbicara atau menulis.
Wahbah Zuhaili mengemukakan bahwa ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar suatu ijab qabul dipandang sah dan memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak. Pertama, jalâ’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan ijab qabul itu jelas sehingga dapat dipahami dengan mudah mengenai jenis perikatan yang dikehendaki. Kedua, tawâfuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul. Ketiga, jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan qabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ada keraguan sedikitpun, tidak berada di bawah tekanan pihak lain dan melaksanakannya dengan sepenuh hati dan tanpa paksaan

b. Mahallul ‘aqd (objek perikatan)
Objek perikatan dalam konteks muamalah sangat luas dan bentuk serta sifatnya tergantung dari jenis perikatan yang dibuat. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa suatu objek perikatan harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, perikatan harus sudah ada secara konkrit ketika kontrak dilangsungkan atau diperkirakan akan ada pada masa akan datang. Kedua, dibenarkan oleh syara’; sesuatu yang tidak dapat menerima hukum perikatan tidak dapat menjadi objek perikatan. Ketiga, objek perikatan harus dapat diserahkan pada saat terjadi akad atau dapat diserahkan pada waktu yang telah ditentukan dalam akad. Keempat, objek perikatan harus jelas atau dapat ditentukan dan harus diketahui oleh kedua belah pihak yang membuat perikatan. Apabila tidak ada kejelasan tentang objek perikatan, maka hal tersebut dapat menimbulkan masalah bagi para pihak yang terikat di dalamnya. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas harus dipahami dan diaplikasikan oleh para pihak dalam membuat perikatan.

c. Al ‘aqidaîn (pihak yang melaksanakan perikatan)
Pihak-pihak yang melaksanakan perikatan merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Subjek hukum dimaksud dapat berupa perorangan, kelompok, dan atau badan hukum tertentu yang mengikatkan diri pada suatu perikatan. Pihak yang melaksanakan perikatan harus cakap secara hukum, sehingga perikatan tersebut sah secara hukum. Islam telah mengamanahkan bahwa orang-orang yang tidak sehat akalnya atau berada dalam pengampuan tidak boleh melaksanakan perikatan, karena yang bersangkutan tidak memahami substansi perikatan tersebut. Orang-orang demikian tidak boleh melaksanakan perikatan secara individual, melainkan harus didampingi oleh orang lain sebagai kuasa yang sah secara hukum.

d. Maudhu’ul ‘aqd (tujuan dan akibat hukum perikatan)
Dalam suatu perikatan, tujuan menjadi sangat penting bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Tujuan dari suatu perikatan sangat menentukan akibat hukum bagi para pihak, terutama dalam konteks keperdataan. Dengan demikian, para pihak harus mengetahui dan memahami secara massif tujuan dan akibat hukum dari perikatan yang dibuatnya.
Ahmad Azhar Basyir mengemukakan bahwa tujuan suatu perikatan dapat dikatakan sah jika memenuhi beberapa syarat. Pertama, tujuan perikatan bukan merupakan kewajiban yang telah ada atas para pihak yang bersangkutan tanpa perikatan yang diadakan. Tujuan perikatan dinyatakan sah jika tujuan tersebut ditetapkan pada saat melakukan perikatan. Kedua, tujuan perikatan merupakan tujuan yang temporal, yaitu tujuan yang berlangsung selama dan hingga berakhirnya masa perikatan. Ketiga, tujuan kontrak harus benar menurut syara’, yaitu tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan tuntunan al Qur’an dan hadis

Akad (perikatan) dalam hukum Islam memiliki beberapa asas yang harus diketahui dan ditaati oleh para pihak yang membuat akad. Fathurrahman Djamil, sebagai dikutip oleh Abdul Manan mengemukakan bahwa perikatan memiliki minimal lima asas, yaitu:

a. Asas kebebasan (Al Hurriyah)
Pihak-pihak yang melakukan kontrak mempunyai kebebasan untuk melakukan suatu perjanjian, mencakup objek dan syarat-syarat perjanjian serta cara penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi di kemudian hari. Kebebasan menentukan syarat-syarat ini dibenarkan selama tidak bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum Islam. Asas ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 256:
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Tujuan asas ini pada dasarnya untuk menjaga agar para pihak tidak saling menzalimi dalam pembuatan kontrak. Asas ini juga dimaksudkan untuk menghindari semua bentuk pemaksaan (ikrâh), tekanan, dan penipuan dari pihak yang berkepentingan dengan perikatan yang dibuat. Jika dalam perikatan terdapat unsur pemaksaan yang merugikan salah satu pihak, maka legalitas perikatan tersebut tidak sah. Dengan demikian, maka klausul dalam akad tidak dapat mengikat kedua belah pihak secara hukum dan tidak ada prestasi yang harus dijalankan oleh para pihak.

b. Asas persamaan dan kesetaraan (Al Musawah)
Substansi asas ini adalah setiap pihak memiliki kedudukan dan andil yang sama dalam perikatan yang dibuat. Asas ini kemudian menjadi begitu penting karena berimplikasi pada hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam pemenuhan prestasi berdasar perikatan yang telah dibuat. Asas ini tidak menutup kemungkinan bahwa salah satu pihak lebih aktif dalam menyiapkan atau membuat rumusan klausul perikatan yang harus disesuaikan dengan keinginan atau kepentingan pihak lain yang terlibat di dalamnya.

c. Asas keadilan (Al ‘Adalah)
Setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak harus menunjukkan rasa keadilan yang menjamin kepentingan masing-masing pihak. Keadilan merupakan entitas yang multi dimensional yang mencakup nilai-nilai kebenaran. Keadilan dalam perikatan akan menjamin terpenuhinya hak-hak individu dan menjamin pula terlaksananya akad secara konsekuen, karena masing-masing pihak merasakan ketenangan dan kepastian terjaminnya hak-hak individu.

d. Asas kerelaan (Al Ridha)
Asas ini menyatakan bahwa semua kontrak yang dilakukan oleh para pihak harus didasarkan kepada kerelaan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Kerelaan para pihak yang berkontrak merupakan entitas yang menjiwai setiap perikatan dalam Islam sekaligus melandasi semia transaksi yang terjadi. Bila asas ini tidak terpenuhi dalam perikatan yang dibuat, maka perikatan tersebut dilaksanakan dengan cara yang bathil (al akl bil bâthil).
Kerelaan merupakan sikap batin abstrak yang membutuhkan indikator tertentu untuk merefleksikannya dalam suatu perikatan yang dibuat. Klausul ijab qabul merupakan representasi dari kerelaan para pihak dalam melakukan suatu perikatan. Dengan demikian, klausul ijab qabul harus transparan dan berimbang, sehingga mampu merepresentasikan kerelaan para pihak untuk melakukan perikatan.

e. Asas perikatan tertulis (Al Kitabah)
Salah satu asas yang sangat fundamental dalam perikatan Islam adalah asas tertulis. Perikatan yang dilakukan oleh para pihak harus ditulis dalam suatu akta atau bentuk formal lainnya untuk menghindari terjadinya permasalahan-permasalahan di kemudian hari. Asas perikatan tertulis ini termuat dalam firman Allah SWT surat Al Baqarah ayat 282:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

bibliografi
http://www.syariahmandiri.co.id/syariah/banksyariah.php
http://yogiikhwan.blogspot.com/2007/08/perbandingan-hukum-perjanjian-dalam_30.html
Abdurrahman. Kewenangan Peradilan Agama di Bidang Ekonomi Syariah: Tantangan Masa yang Akan Datang, Suara Uldilag, Vol. 3 No.XII, Maret 2008.
Abdul Manan. Hukum Kontrak dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia Peradilan, Tahun XXI No.247, Juni 2006. h.39-42
Ahmad Azhar Basyir. Asas-asas Hukum Muamalat. Yogyakarta: UII Press. 2004. h. 83-84

prinsip dasar dan nilai-nilai ekonomi syariah

By Djenar Siti

Ekonomi syariah merupakan jargon yang cukup baru dalam dunia ekonomi. Ekonomi syariah muncul sebagai sebuah kekuatan baru ekonomi dunia; sebagai upaya memecahkan polemik ekonomi yang melanda dunia saat ini. Gerakan ekonomi syariah hadir seiring dengan semangat untuk menghidupkan syariat dalam setiap dimensi kehidupan manusia.
Ekonomi syariah sebagai sebuah sistem ekonomi berlandaskan pada al Qur’an dan hadis. Gerakan pembaruan ekonomi berlabel ekonomi syariah telah berjalan sejak beberapa dasawarsa yang lalu. Gerakan ini dipicu oleh keprihatinan oleh beberapa ilmuwan Islam-khususnya ilmuwan ekonomi-terhadap berbagai polemik yang melanda perekonomian dunia, terutama perekonomian negara-negara muslim. Konsensus para ilmuwan mengarah pada satu faktor pemicu, yaitu masih diterapkannya sistem ekonomi konvensional dalam aktivitas ekonomi negara-negara di dunia, termasuk negara-negara muslim.
Pertengahan abad ke-20 tercatat sebagai reinkarnasi atau kelahiran kembali apa yang dicanangkan sebagai Islamic economics (ekonomi Islam). Kelahiran ekonomi Islam (ekonomi syariah) dilandasi keinginan untuk mengembalikan aktivitas perekonomian umat agar sesuai dengan prinsip syariat Islam. Dalam kurun waktu beberapa dasawarsa, para pendukung ekonomi Islam telah mendirikan lembaga internasional. Salah satunya adalah International Centre for Islamic Economics yang bermarkas di King Abdul Aziz University Jeddah. Tercatat salah satu institusi Islam yang menjadi pionir dalam pengembangan ekonomi syariah adalah Nasser Social Bank (Mesir). Nasser Social Bank didirikan sebagai bank komersial tanpa bunga pada tahun 1971 pada masa presiden Anwar Sadat, yang beroperasi sebagai sebuah otoritas publik dengan status otonom, namun tidak secara spesifik menyebutkan Islam dalam anggaran dasarnya.
Dalam konteks Indonesia, penerapan syariat Islam-sebagai basis ekonomi syariah-telah terjadi jauh sebelum Belanda datang ke Indonesia. Pada abad XIV Masehi, penerapan dan penyebaran hukum Islam dilakukan oleh Sultan Malikul Zahir dari kerajaan Samudera Pasai.
Pada awal terbentuknya wacana ekonomi syariah, banyak di kalangan masyarakat yang beranggapan salah terhadap ekonomi syariah. Ekonomi syariah saat itu dianggap sebagai sistem yang konservatif, mengekang kreatifitas dan kebebasan berkarya dan berusaha, serta aturan-aturan dogmatis yang membuat pelaku-pelaku ekonomi tidak bebas untuk berinovasi dalam menjalankan roda perekonomian bangsa. Hal ini dapat kita sadari, mengingat realitas yang ada menunjukkan ada indikasi Islam dikonotasikan secara negatif, Islam dianggap sebagai agama yang ajarannya membatasi usaha manusia dalam menggunakan hak-haknya. Banyak pula yang meragukan sistem bagi hasil yang diusung ekonomi syariah dengan menghindari sistem bunga.
Setelah Indonesia meraih kemerdekaan, prinsip-prinsip hukum Islam mendapatkan kedudukannya dalam tata hukum Indonesia, dan yang paling aktual adalah lahirnya UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai amandemen UU No.7 Tahun 1989. Perlu pula dicatat bahwa di Indonesia juga telah dikeluarkan UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas sebagai amandemen UU No.1 Tahun 1995. Perkembangan paling mutakhir dalam konteks ekonomi syariah di Indonesia adalah lahirnya UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang merupakan regulasi utama dalam operasionalisasi perbankan syariah di Indonesia.
1. Prinsip dasar ekonomi syariah
Ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi memiliki dua karakter dasar, yaitu sebagai sistem ekonomi Rabbani dan Insani. Ekonomi syariah dikatakan sebagai sistem ekonomi rabbani karena secara teoretik maupun secara praktis, ekonomi syariah senantiasa berlandaskan pada syariat dan nilai-nilai ketuhanan. Setiap aktivitas ekonomi yang dilakukan harus senantiasa berpedoman pada aturan-aturan syariat sehingga tidak keluar dari koridor Islam. Karakter Insani dalam ekonomi syariah bermakna sistem ekonomi syariah diselenggarakan dengan tujuan untuk kemakmuran segenap umat manusia. Penyelenggaraan kegiatan ekonomi tidak hanya bersifat pragmatis dan oportunis, melainkan juga bermuara pada satu tujuan luhur, yaitu terwujudnya keadilan masyarakat secara sosio-ekonomi.
Metwally, sebagai dikutip oleh Arifin, mengemukakan bahwa prinsip-prinsip ekonomi syariah adalah:
a. Berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan. Dengan prinsip demikian maka manusia sebagai pengelola alam akan merasa bertanggung jawab atas kelestarian dan sedapat mungkin menghindari eksploitasi atas kekayaan alam tertentu untuk kepentingan pribadi sekaligus merugikan kepentingan umum.
b. Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Ekonomi syariah bukan sistem kapitalis yang mengakui kepemilikan alat maupun faktor produksi tanpa batas atau sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan pribadi atas alat maupun faktor produksi. Ekonomi syariah adalah sistem yang mengakui kepemilikan pribadi atas alat maupun faktor produksi secara relatif dan berimbang, sehingga tidak bergesekan dengan kepentingan umum.
c. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama. Kerja sama sebagai yang kita ketahui adalah metode terbaik dalam usaha mencapai tujuan. Ekonomi syariah sejak dahulu telah menekankan pentingnya kerja sama dalam aktifitas ekonomi, karena dengan demikian manfaat atas kerja sama tersebut dapat dirasakan bersama diserta dengan pemerataan atas keadilan ekonomi yang digalakkan secara bersama.
d. Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
e. Seorang muslim harus takut kepada Allah SWT dan hari akhirat. Kegiatan ekonomi adalah kegiatan yang tidak hanya berimplikasi duniawi, melainkan menuntut pertanggungjawaban di hari akhirat.
f. Seorang muslim yang kekayaannya melebihi ukuran tertentu diwajibkan mengeluarkan zakat. Inilah yang menjadi aksentuasi utama ekonomi syariah dalam penciptaan keadilan ekonomi. Prinsip zakat adalah prinsip fitrah yang menyentuh dimensi-dimensi kemanusiaan, seperti dimensi sosial, dimensi ubudiyah, dan dimensi psikis manusia.
g. Islam melarang setiap pembayaran bunga (riba) atas berbagai bentuk pinjaman. Ini adalah prinsip yang sejak awal kemunculan Islam telah ditetapkan melalui beberapa ayat yang secara tegas menyebutkan kedudukannya dalam syari’at. Riba tidak hanya merugikan perekonomian, akan tetapi lebih jauh riba dapat menimbulkan penyakit-penyakit masyarakat yang semakin memperparah kondisi dan stabilitas sosial, misalnya budaya pemeras, sifat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya diatas penderitaan orang lain, dan hilangnya sensitifitas sosial.
Ekonomi syariah selayaknya dijalankan dengan mengacu pada prinsip di atas. Jika seluruh prinsip tersebut dijalankan dengan sebaik mungkin, maka pemerataan dan kemajuan ekonomi masyarakat bukanlah sebuah utopia atau idealitas belaka. Dengan menjalankan prinsip-prinsip diatas, keterpurukan ekonomi bangsa dapat diatasi dan optimisme akan kemajuan dan kejayaan bangsa dapat terwujud di tengah pergaulan dunia yang semakin kompetitif.
2. Nilai-nilai ekonomi syariah
Implementasi sistem ekonomi syariah berangkat dari sebuah tatanan nilai yang dibangun atas dasar ketetapan-ketetapan dalam al Qur’an dan hadis. Nilai-nilai yang dibangun secara substansial bermuara pada satu tujuan luhur, yaitu menciptakan tatanan kehidupan perekonomian yang berlandaskan Ketuhanan dan pemerataan ekonomi di masyarakat. Menurut Antonio, ada beberapa nilai dalam sistem ekonomi syariah, yaitu perekonomian masyarakat luas, keadilan dan persaudaraan menyeluruh, keadilan distribusi pendapatan, dan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial.
a. Perekonomian masyarakat luas
Islam mendorong penganutnya berjuang untuk menikmati karunia yang telah diberikan oleh Allah. Islam juga mendorong manusia untuk berusaha sekuat mungkin dalam mendapatkan harta dengan cara yang etis dan halal, sehingga kemakmuran dan kemashlahatan di bumi tetap terjaga hingga akhir zaman.
b. Keadilan dan persaudaraan menyeluruh
Islam bertujuan untuk membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid. Dalam tatanan itu, setiap individu diikat oleh persaudaraan dan kasih sayang ibarat sebuah keluarga. Persaudaraan tersebut adalah persaudaraan yang universal dan tidak didasarkan atas kesamaan pada aspek tertentu, sebab pada dasarnya manusia adalah satu keluarga besar.
c. Keadilan distribusi pendapatan
Kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam dalam masyarakat berlawanan dengan semangat serta komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan sosial-ekonomi. Untuk mewujudkan pemerataan pendapatan dalam masyarakat, sistem ekonomi Islam menawarakan beberapa cara, yaitu:
1) Penghapusan monopoli, kecuali oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu yang menyangkut kepentingan masyarakat umum,
2) Menjamin hak dan kesempatan semua pihak untuk aktif dalam proses ekonomi, baik produksi, distribusi, maupun konsumsi,
3) Menjamin basic need fulfillment setiap anggota masyarakat.
d. Kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial
Prinsip-prinsip Islam dalam konteks kesejahteraan sosial adalah:
1) Kepentingan masyarakat harus didahulukan dari kepentingan pribadi.
2) Melepas kesulitan harus diprioritaskan daripada memberi manfaat, meski secara substansial keduanya merupakan tujuan syariah.
3) Manfaat yang besar tidak dapat dikorbankan untuk manfaat yang kecil dan bahaya yang lebih harus dapat diterima atau diambil untuk menghindari bahaya yang lebih besar.

bibliografi
Antonio, M.S. 2001. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Arifin, Z. 2003. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: AlvaBet.
Asnawi, M.N. 2007. Ekonomi Syariah sebagai Sistem Ekonomi Nasional: Dialektika Paradigma Ekonomi Syariah dengan Realitas Ekonomi Nasional Menuju Sistem Ekonomi yang Rabbani. Makalah dalam lomba karya tulis ilmiah mahasiswa berprestasi tingkat UIN Alauddin Makassar tahun 2007 (tidak diterbitkan).

Penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama

By Djenar Siti

M. Natsir Asnawi

Mah. Fak. Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar

I. Pendahuluan

Peradilan Agama sebagai salah satu lembaga hukum di Indonesia telah eksis seiring dengan perjalanan bangsa dari awal kemerdekaan hingga saat ini. Dalam rentang waktu tersebut, peradilan agama telah melewati rangkaian proses transformasi kelembagaan dalam rangka memperkuat eksistensinya dalam kerangka hukum di Indonesia.
Salah satu pijakan awal yang krusial dalam kemapanan peradilan agama secara kelembagaan adalah kodifikasi peraturan-peraturan tentang peradilan agama ke dalam UU No.7 tahun 1989 mengenai peradilan agama. Dengan kodifikasi tersebut, maka peradilan agama memperoleh pengakuan hukum yang luas sebagai lembaga hukum yang otoritatif dan independen. 
Implikasi lebih jauh dari undang-undang tersebut adalah adanya transparansi mengenai yurisdiksi peradilan agama dalam dinamika hukum nasional, sehingga putusan atau ketetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan agama memiliki kekuatan hukum yang tetap. Hal inilah yang sesungguhnya mengawali kiprah nyata peradilan agama dalam rangka penegakan supremasi hukum secara massif. 
Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan dinamika sosial-ekonomi masyarakat yang semakin kompleks dan dinamis, kebutuhan akan pemenuhan rasa keadilan semakin menguat, sehingga diperlukan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif. Peradilan agama dituntut untuk mengambil peran yang lebih jauh dalam pemenuhan rasa keadilan di masyarakat. Satu hal yang sangat riskan dalam konteks ini adalah masalah ekonomi syari’ah yang penanganannya belum maksimal. 
Sebagai diketahui, perkara hukum yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah selama ini ditangani oleh pengadilan negeri yang secara substansial kurang kompeten, mengingat basis pendalaman hukumnya adalah hukum positif, sedangkan perkara ekonomi syari’ah berbasis hukum Islam. Lebih jauh, dewasa ini telah banyak berdiri lembaga-lembaga keuangan syari’ah yang melayani kebutuhan finansial masyarakat, sehingga secara hukum perlu diakomodir dalam lembaga hukum yang kompeten.
Adalah peradilan agama yang kemudian dianggap sebagai lembaga yang representatif dan kompeten dalam menangani perkara ekonomi syari’ah. Ada beberapa alasan yang mendasari hal ini. Pertama, hakim-hakim dalam peradilan agama memiliki pendalaman hukum Islam yang lebih dibandingkan dengan hakim-hakim umum di pengadilan negeri. Meski hal tersebut bukanlah hal yang mutlak, namun paling tidak hal ini dapat digunakan sebagai parameter awal yang memperkuat asumsi bahwa peradilan agama adalah lembaga yang paling representatif mengenai hal ini. Kedua, Pengadilan Agama secara faktual lebih ‘bersih’ dibandingkan dengan Pengadilan Negeri. 
Sebagai yang kita ketahui, dalam dinamikanya, lembaga peradilan agama lebih independen dan transparan dibandingkan dengan pengadilan negeri dalam menjalankan otoritasnya. Cukup banyak bukti yang mendukung hal ini. Salah satunya adalah sangat jarang ditemukan penyimpangan aturan yang dilakukan oleh aparat pengadilan agama. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kinerja aparat pengadilan negeri yang hampir setiap saat terdengar penyimpangan aturan hukum, antara lain terlihat jelas dalam produk-produk hukum yang dikeluarkan. 
Aktualisasi nyata dari pertimbangan-pertimbangan diatas adalah amandemen UU No.7 tahun 1989 menjadi UU No.3 tahun 2006 tentang peradilan agama. Amandemen ini membawa implikasi yang signifikan bagi yurisdiksi peradilan agama. Hal ini ditunjukkan dengan ekspansi wewenang peradilan agama yang dipercayakan untuk menangani perkara-perkara ekonomi syari’ah di masyarakat. 
Inilah sesungguhnya yang menjadi substansi lembaga peradilan agama secara yuridis, yaitu menjadi wadah bagi penyelesaian perkara-perkara hukum, terutama bagi umat muslim yang mendambakan keadilan yang hakiki. Segalanya kembali pada lembaga peradilan agama itu sendiri untuk senantiasa menjaga independensinya dan menjadi pilar bagi penegakan supremasi hukum di Indonesia. Pada akhirnya, realitas-lah yang akan membuktikannya

II. Kompetensi Pengadilan Agama dalam Menyelesaikan Perkara Ekonomi Syariah

Amandemen UU No.7 Tahun 1989 menjadi UU No.3 Tahun 2006 berimplikasi secara signifikan bagi institusi pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama, khususnya pada konteks kewenangan absolut Pengadilan Agama. Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas memeriksa dan memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

    1. perkawinan;

    2. waris;

    3. wasiat;

    4. hibah;

    5. wakaf;

    6. zakat;

    7. infaq;

    8. shadaqah; dan

    9. ekonomi syariah            

Dalam penjelasan pasal I angka 37 pasal 49 huruf i disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilakukan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi:

    1. bank syariah;
    2. lembaga keuangan mikro syariah;
    3. asuransi syariah;
    4. reasuransi syariah;
    5. reksadana syariah;
    6. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah;
    7. sekuritas syariah;
    8. pembiayaan syariah;
    9. pegadaian syariah;
   10. dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan
   11. bisnis syariah


Salah satu pokok persoalan utama mengenai kompetensi Pengadilan Agama ini adalah instrumen hukum acara. Menilik hal ini, pasal 54 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menegaskan bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum. Selain itu, hukum acara yang berlaku dalam pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama adalah hukum acara perdata Islam sebagai tertuang dalam KHI dan beberapa peraturan lainnya. Ketentuan pasal 54 tersebut dapat dijadikan sebagai dasar hukum pengimplementasian hukum acara perdata umum bagi Pengadilan Agama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah

Syaifuddin mengemukakan bahwa ketentuan dalam pasal tersebut di atas menegaskan bahwa secara kumulatif, Pengadilan Agama merupakan institusi pengadilan yang memiliki kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Dalam konteks penyelesaian perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Agama, maka tergugat dapat melaksanakan putusan tersebut secara sukarela atau dapat pula melalui eksekusi putusan oleh Pengadilan Agama atas permohonan penggugat apabila tergugat sebagai pihak yang dikalahkan tidak bersedia melaksanakan putusan tersebut secara sukarela. Dengan demikian, menyelesaikan perkara ekonomi syariah melalui eksekusi putusan sebagai kewenangan Pengadilan Agama bersifat opsional, bukan imperatif.

III. Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama

a. Pendaftaran gugatan

Ekonomi syariah merupakan salah satu kewenangan pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama. Ekonomi syariah berdasar pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 merupakan salah satu bagian dari perkara perdata Islam yang meliputi 11 bidang usaha. 
Pada dasarnya, pendaftaran gugatan untuk perkara ekonomi syariah sama dengan pendaftaran gugatan perkara lainnya. Berikut beberapa tahapan dalam pendaftaran gugatan perkara ekonomi syariah:
1. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg).
2. Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama:
a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat;
b. Bila tempat kediaman tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat;
3.Bila mengenai benda tetap, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat. Bila benda tetap tersebut terletak dalam wilayah beberapa Pengadilan Agama, maka gugatan dapat diajukan kepada salah satu Pengadilan Agama yang dipilih oleh penggugat (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg.).
4. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo. Pasal 89 UU No.7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R. Bg.).

b. Pemeriksaan perkara dalam persidangan

Setelah gugatan didaftar penggugat di Pengadilan Agama, maka Ketua Pengadilan akan menunjuk majelis hakim yang menyidangkan gugatan tersebut. Proses pemeriksaannya melalui prosedur yang hampir sama dengan penyelesaian gugatan perdata lainnya, yaitu:
1. Pembacaan gugatan;
2. Jawaban tergugat;
3. Replik penggugat;
4. Duplik tergugat;
5. Pembuktian oleh penggugat dan tergugat jika ada dalil gugatan yang dibantah;
6. Kesimpulan penggugat dan tergugat;
7. Musyawarah majelis hakim;
8. Putusan.
Dalam pemeriksaan perkara ekonomi syariah, pada saat sidang pertama sebelum pembacaan gugatan-jika penggugat dan tergugat hadir-,kedua belah pihak diwajibkan untuk melakukan mediasi. Hal ini diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Tempat pelaksanaan mediasi mengacu pada Pasal 20 Perma No.1 Tahun 2008:
1. Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama atau di tempat lain yang disepakati oleh para pihak.
2. Mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan.
3. Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama tidak dikenakan biaya.
4. Jika para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di tempat lain, pembiayaan dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan 
Proses mediasi sendiri dilakukan dengan acara pemeriksaan tertutup, kecuali para pihak menghendaki lain. Dalam Perma No.1 Tahun 2008 Pasal 7 disebutkan tentang proses pra mediasi, yaitu:
1. Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.
2. Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi.
3. Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
4. Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
5. Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.
6. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa.

c. Implementasi hukum materil

Penyelesaian perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama merupakan implementasi dari pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Pasal 55 UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Selama kurun waktu sekitar 2 tahun, sejak dikeluarkannya UU No.3 Tahun 2006, belum ada peraturan khusus yang mengatur tentang penyelesaian perkara ekonomi syariah serta penerapan hukum materilnya. Pada kurun waktu itu, kontroversi pun merebak pada wilayah hukum materil apa yang seharusnya diterapkan oleh hakim-hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah.
Pada 10 September 2008, Mahkamah Agung RI mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Perma tersebut menjawab kekosongan hukum materil di lingkungan Peradilan Agama dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah. Sebagaimana diungkap Mukrim, SH., KHES yang ditetapkan melalui Perma tersebut menjadi pedoman dan/atau landasan bagi para hakim dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah.
Perma No.2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah memuat beberapa ketentuan, yaitu:
a. Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syariah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
b. Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari'ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak mengurangi tanggungjawab hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.
Dengan ketentuan tersebut, maka KHES merupakan pedoman bagi para hakim dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah. akan tetapi, sebagaimana digariskan dalam Perma tersebut, hakim tetap dapat mengacu pada kitab-kitab fiqh muamalah yang ada serta melakukan upaya maksimal dalam penemuan hukum, khususnya dalam konteks ekonomi syariah.


d. Eksekusi atas putusan Badan Arbitrase Syariah 
                                                                                    

Salah satu kewenangan absolut Pengadilan Agama adalah sebagai lembaga pelaksana eksekusi atas putusan Badan Arbitase Syariah. Hal tersebut mulanya banyak diperdebatkan oleh akademisi dan praktisi hukum. Pasal 60 UU No.30 Tahun 1999 menyebutkan:
“Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak”.

Kemudian Pasal 61 menyebutkan:

“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”.

Bila diperhatikan ketentuan dalam pasal tersebut, maka akan timbul permasalahan mengenai siapa yang berwenang mengeksekusi putusan Badan Arbitrase Syariah?. Pangkal masalahnya sebenarnya belum adanya regulasi khusus yang mengatur tentang Badan Arbitrase Syariah. Undang-Undang yang ada hanya mengatur tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. 
Dalam konteks ini, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.8 Tahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. SEMA tersebut dimaksudkan untuk memberi petunjuk teknis sekaligus menjawab polemik yang selama ini merebak di kalangan akademisi dan praktisi hukum mengenai pelaksanaan eksekusi atas putusan Badan Arbitrase Syariah dan pengadilan mana yang berwenang untuk melakukan eksekusi tersebut.
SEMA No.8 Tahun 2008 Angka 4 menyebutkan:
“Dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah ketua Pengadilan yang berwenang atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, dan oleh karena sesuai dengan Pasal 49 UU No.7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2006, Pengadilan Agama juga bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah, maka ketua Pengadilan Agama-lah yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah”.  

Ketentuan tersebut menegaskan bahwa Pengadilan yang berwenang untuk melaksanakan eksekusi atas putusan Badan Arbitrase Syariah adalah Pengadilan Agama. Ketetapan tersebut didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 dan Pasal 55 UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan upaya mensinergiskan antara peraturan perundang-undangan yang ada; sebagai upaya untuk menciptakan kepastian hukum. 
Mengenai mekanisme pelaksanaan eksekusi atas putusan Badan Arbitrase Syariah, perlu diperhatikan ketentuan dalam Pasal 59 UU No.30 Tahun 1999:
1. Dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan Pengadilan Negeri (baca: Pengadilan Agama);
2. Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh panitera pengadilan negeri atau arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran;
3. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada panitera pengadilan negeri;
4. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan;
5. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak.
Berdasar ketentuan tersebut, putusan Badan Arbitrase Syariah pada dasarnya baru dapat dilaksanakan setelah tenggat waktu 30 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan. Dalam hal ini, arbiter atau kuasanya mendaftarkan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada panitera Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon dan membayar biaya perkara.
Setelah permohonan eksekusi didaftar, maka Ketua Pengadilan melaksanakan sidang teguran (aan maning) dengan menghadirkan kedua belah pihak. Dalam sidang tersebut, Ketua Pengadilan Agama mengupayakan (menegur) agar tergugat bersedia melaksanakan putusan Badan Arbitrase syariah secara sukarela. Dalam pemeriksaan ini, Ketua Pengadilan atau majelis tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari Badan Arbitrase Syariah. Sebelum perintah eksekusi dikeluarkan, maka Ketua Pengadilan Agama perlu memperhatikan apakah:
1. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui Badan Arbitrase Syariah dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani para pihak;
2. Sengketa yang diselesaikan tersebut adalah sengketa di bidang ekonomi syariah dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa;
3. Putusan Badan Arbitrase Syariah tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Perintah eksekusi yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Agama ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan Badan Arbitrase Syariah yang dikeluarkan. Putusan Badan Arbitrase Syariah yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Agama dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

IV. Bibliografi

Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) Stb. 1941 No.44.

Peraturan Mahkamah Agung RI No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Peraturan Mahkamah Agung RI No.2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

Reglement Buitengewesten (R. Bg.) Stb. No.227 Tahun 1927.

Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.8 Tahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah.

Syaifuddin. Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah, Suara Uldilag, No.13, Juni 2008.

Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.


asuransi syariah

By Djenar Siti

Asuransi merupakan instrumen keuangan yang sangat membantu seseorang atau keluarganya ketika terjadi musibah. Peranan asuransi sangat dibutuhkan, baik sebagai proteksi jiwa maupun sebagai proteksi usaha/bisnis. Dalam era modern, mengasuransikan sebuah usaha merupakan hal yang mutlak karena dengan cara inilah seorang pengusaha dapat meminimalisir ekses yang timbul ketika suatu saat usaha yang dibangun bangkrut, baik karena financial collapse maupun karena bencana, seperti bencana kebakaran atau gempa bumi. Di kalangan umat muslim sendiri, asuransi bukanlah barang baru, terutama para praktisi keuangan. Asuransi sudah menjadi semacam land mark bagi masyarakat modern, tidak terkecuali umat muslim. Permasalahan yang kemudian muncul adalah praktik asuransi selama ini masih menerapkan cara-cara yang tidak Islami seperti masih ada unsur riba, gharar (spekulasi), dan maysir (judi).
Pertanyaan kemudian, apakah umat muslim dapat mengaplikasi asuransi tanpa melanggar syari'at? jawabnya dapat. Saat ini telah ada beberapa asuransi syari'ah dan asuransi konvensional yang membuka cabang syari'ah yang mengakomodir keinginan umat Islam untuk berasuransi yang sesuai dengan prinsip syari'ah.

1. Definisi Asuransi Syariah
Asuransi syari'ah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabbarru' yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari'ah (Fatwa DSN MUI No. 21 tahun 2001).
Asuransi syariah dapat juga didefinisikan sebagai asuransi yang operasionalisasinya berdasar atas prinsip syariah. Prinsip syariah yang dimaksud adalah prinsip asuransi yang bebas dari praktek riba, gharar, zhulm, risywah, barang haram, maksiat, dan maysir.
2. Daftar Perusahaan Asuransi Syari'ah
Jumlah asuransi syariah di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Saat ini, tercatat sekitar 15 perusahaan asuransi syariah, baik asuransi syariah maupun asuransi konvensional yang membuka cabang syariah.
Asuransi syariah:
1. Asuransi Mubarokah
2. Asuransi Takaful Keluarga
3. Asuransi Takaful Umum
Asuransi konvensional yang membuka cabang syariah:
1. Asuransi Bumi Putera
2.Asuransi Tripakarta
3. Allianz Life
4. MAA Life
5.MAA General
6.Asuransi BSAM Syariah
7.Asuransi Bringin Jiwa Sejahtera
8.Asuransi Great Eastern
9.Asuransi Jasindo
10.Asuransi Bumida
11.Asuransi Bina Griya
12.Prudential Syariah
3. Perbedaan Asuransi Syari'ah dengan Asuransi Konvensional
Asuransi syariah dan asuransi konvensional memiliki beberapa perbedaan mendasar, yaitu:
a. Akad
Akad pada asuransi syariah berbeda dengan akad pada asuransi konvensional. Pada asuransi syariah, nasabah mengikatkan diri pada suatu komunitas yang masing-masing saling menanggung risiko jika terjadi musibah terhadap salah satu atau beberapa orang diantara mereka. Akad dalam asuransi syariah ini kemudian dikenal sebagai akad takafuli (tolong -menolong). Pada asuransi konvensional, nasabah melakukan akad yang dalam Islam dikenal sebagai akad jual beli. Dengan akad takafuli, maka peserta akan menyisihkan sebagian uang yang dibayarkan yang disebut dengan dana tabarru'. Dana tabarru' ini disimpan dalam suatu kas khusus yang sewaktu-waktu dapat diklaim oleh salah seorang peserta yang mengalami musibah. Dengan dana tabarru' pengelolaan risiko bebas dari unsur riba, maysir, dan gharar.
b. Mekanisme pengelolaan risiko
Dalam asuransi syariah, pengelolaan risiko dilakukan atas prinsip risk sharing, yaitu tolong-menolong dengan membagi risiko diantara peserta (nasabah) asuransi. Mekanisme pengelolaan risiko pada asuransi konvensional adalah risk transfer, yaitu pengalihan risiko dari peserta kepada perusahaan asuransi.
c. Pengelolaan dana premi
Pengelolaan dana premi (dana nasabah) pada asuransi didasarkan pada prinsip mudharabah. Dana yang disetor peserta adalah milik peserta dan kapasitas perusahaan adalah hanya sebagai pengelola. Hasil dari pengelolaan dana tersebut, seperti investasi, kemudian dibagi sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat terlebih dahulu, misalnya 55:45. Berbeda dengan asuransi konvensional yang mengelola dana nasabah berdasar atas mekanisme bunga sehingga melanggar prinsip dasar syariat.
d. Dana hangus
Dalam asuransi syariah tidak dikenal dana hangus, yaitu beralihnya pemilikan dana premi dari nasabah ke perusahaan secara utuh. Asuransi Islam tidak membenarkan penetapan dana hangus jika pada saat jatuh tempo, peserta tidak mengajukan klaim. Sebaliknya, dalam asuransi syariah jika terjadi klaim pada saat jatuh tempo atau peserta ingin mengundurkan diri sebelum jatuh tempo, maka perusahaan akan mengembalikan dana peserta, kecuali dana yang sudah diniatkan sebagai dana tabarru'. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dikenal dana hangus. Nasabah yang tidak mengajukan klaim pada saat jatuh tempo, maka semua dana premi yang disetor menjadi milik perusahaan. Nasabah juga tidak dapat mengundurkan diri sebelum jatuh tempo.