Free Windows Wallpaper

we give information and picture wallpaper : Windows XP, Nice Wallpaper XP, Windows 3D, Windows 7, Windows Desktop, Windows Natural XP and more

undeachiever dan konsep keberbakatan

By Djenar Siti

A. Definisi Underachiever
Ramadhan (2008) mengemukakan bahwa underachiever adalah anak (siswa) berprestasi rendah dibandingkan tingkat kecerdasan yang dimilikinya. Sementara itu, Prayitno dan Amti (Ramadhan, 2008) menyebutkan bahwa underachiever identik dengan keterlambatan akademik yang berarti bahwa keadaan siswa yang diperkirakan memiliki tingkat intelegensi yang cukup tinggi, tetapi tidak dapat memanfaatkannya secara optimal, sehingga prestasi akademik yang diraih di bawah kemampuan yang dimilikinya.
Underachiever adalah anak dan khsusunya siswa yang gagal meraih prestasi sesuai dengan potensi yang dimilikinya serta apa yang diharapkan oleh orang-orang di sekitarnya (Admin, 2007). Reis & McMoach (Tarmidi, 2008) mengemukakan bahwa underachievement merupakan kesenjangan akut antara potensi prestasi (expected achievement) dan prestasi yang diraih (actual achievement). Robinson (Tarmidi, 2008) mengemukakan bahwa untuk dapat diklasifikasikan sebagai underachiever, kesenjangan antara potensi dan prestasi tersebut bukan merupakan hasil diagnosa kesulitan belajar (learning disability) dan terjadi secara menetap pada anak (siswa) dalam periode yang panjang.
Runikasari (2009) menyebutkan bahwa underachiever merupakan anak atau siswa yang memilki potensi tinggi tetapi prestasi yang mereka tampilkan berada dibawah potensi yang dimiliki. Secara operasional, underachievement dapat didefinisikan sebagai kesenjangan antara skor tes inteligensi dan hasil yang diperoleh siswa di sekolah (Peters & VanBoxtel, dalam Tarmidi, 2008).
Anak underachiever merupakan anak yang pada dasarnya memiliki potensi yang tinggi untuk meraih prestasi gemilang (anak cerdas). Anak cerdas cenderung menjadi anak yang nakal jika berada di kelas yang dianggapnya tidak memberikan tantangan. Dia akan mempunyai banyak waktu untuk memikirkan hal-hal lain yang tidak berhubungan dengan pelajaran untuk menghilangkan perasaan bosan yang dialami di dalam kelas (Redaksi, 2008).


B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Anak Tergolong Underachiever
Prestasi belajar rendah yang dialami anak underachiever tidak disebabkan oleh adanya hambatan dalam menguasai pelajaran yang diberikan dalam proses belajar mengajar di kelas. Menurut Gustian (Ramadhan, 2008), underachiever dapat disebabkan oleh oleh faktor lingkungan, baik lingkungan luar rumah (lingkungan sekolah), lingkungan rumah, maupun dari individu itu sendiri. Masing-masing faktor tersebut atau secara bersamaan dapat menyebabkan anak menjadi underachiever. Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab underachiever, orang tua dapat melakukan tindakan-tindakan untuk menangani anak yang mengalami underachiever.
Butler-Por (Tarmidi, 2008) menyatakan bahwa underachievement bukan disebabkan karena ketidakmampuan anak untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik, tetapi lebih disebabkan karena pilihan-pilihan yang dilakukan anak, baik secara sadar maupun tidak sadar. Pernyataan tersebut dijelaskan oleh penelitian McClelland, Yewchuk, dan Mulcahy (Tarmidi, 2008) yang menyatakan bahwa ada dua set utama yang mempengaruhi performa underachiever, yaitu (a) faktor emosi dan motivasi, dan (b) faktor yang berhubungan dengan strategi belajar. McClelland dan rekannya percaya bahwa ketika faktor-faktor pada kedua set tersebut berkombinasi dan saling berinteraksi maka faktor tersebut dapat menjadi konsekuensi yang paling kuat untuk mencegah siswa menjadi underachiever.
1. Faktor lingkungan sekolah
Sekolah merupakan faktor yang sangat berperan yang menyebabkan anak menjadi underachiever. Metode pengajaran, kuantitas dan kualitas materi pelajaran yang diberikan, dan parameter-parameter keberhasilan dan kemampuan guru dapat menjadi penyebab anak mengalami underachiever (Ramadhan, 2008).
Edy Gustian (Redaksi, 2008) mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor yang sangat berperan dalam menyebabkan terjadinya underachiever. Faktor tersebut mencakup cara pengajaran, materi-materi yang diberikan, ukuran-ukuran keberhasilan dan kemampuan guru dalam mengelola proses belajar mengajar di kelas. Sebagai contoh, Edy mengemukakan fakta yang terjadi pada Albert Einstein. Menurutnya, saat di sekolah dasar, nilai-nilai pelajaran Einstein sangat buruk, sehingga dia disebut sebagai anak bodoh oleh guru dan teman-temannya. Salah satu penyebab prestasi Einstein sangat buruk di sekolahnya adalah karena Einstein harus mengulang hal-hal yang sudah diketahuinya yang menurutnya tidak bermanfaat. Einstein baru berhasil menangani masalahnya dengan bantuan pamannya.
Dapat dibayangkan kerugian seperti apa yang dialami oleh dunia jika Einstein tidak dapat mengatasi permasalahannya di sekolah. Hal yang perlu diperhatikan mengenai kasus tersebut adalah Albert Einstein berhasil mengatasi permasalahannya dengan bantuan orang lain, pamannya, bukan karena dia mampu mengatasi sendiri permasalahan tersebut (Ramadhan, 2008).
Runikasari (2009) mengemukakan bahwa faktor-faktor di lingkungan sekolah yang menyebabkan anak menjadi underachiever antara lain:
a. Anak bersekolah di sekolah yang memiliki standar tinggi dalam hal prestasi akademik peserta didik, sehingga membuat kepercayaan diri anak menjadi turun karena yang bersangkutan jarang memiliki pengalaman berhasil dalam kehidupan akademiknya.
b. Perlakuan guru, baik di kelas maupun di luar kelas dapat menjadi salah satu penyebab anak menjadi underachiever. Guru yang cenderung memiliki ekspektasi tinggi, bertindak otoriter atau kurang memberi penghargaan bagi siswa dapat menjadi salah satu pemicu anak menjadi underachiever.
c. Kesalahan anak dalam memilih teman dapat menyebabkan anak tersebut menjadi underachiever. Pada usia remaja, teman menjadi segalanya bagi mereka dan pada saat ini pula mereka sangat sulit menolak pengaruh dari teman. Berdasar hal tersebut, maka anak memegang prinsip dari pada ditinggalkan teman, mereka lebih baik mengabaikan kegiatan belajar yang berimplikasi pada penurunan prestasi akademiknya.
2. Faktor keluarga
Selain sekolah, lingkungan rumah juga dapat menyebabkan anak menjadi underachiever. Bagaimana orang-orang terdekat memperlakukan anak akan mempengaruhi pencapaian anak dalam berprestasi. Keluarga adalah faktor terpenting yang dapat menyebabkan anak mengalami underachiever. Misalnya: kurangnya perhatian, dukungan, dan kesiapan orang tua untuk membantu anaknya dalam belajar di rumah serta mengatasi masalah-masalah akademik yang dihadapinya. Ekspektasi orang tua yang terlampau tinggi terhadap anaknya dapat berdampak pada munculnya pertentangan pendapat antara orang tua dengan anak. Selain itu, orang tua terkadang kurang menghargai prestasi belajar yang telah dicapai oleh anak. Sikap orang tua yang demikian kurang memacu anak untuk belajar lebih giat. Anak merasa prestasi belajar yang telah dicapai kurang dihargai dan anak juga akan merasa dirinya tidak mampu berprestasi dalam belajar. Keretakan hubungan antara orang tua (ayah dan ibu) sering menimbulkan percekcokan dalam rumah tangga yang pada akhirnya menjurus pada perceraian. Kondisi demikian dapat menyebabkan anak kurang berkonsentrasi dalam belajar. Anak akan mengalami underachiever juga terjadi jika suasana rumah gaduh dan tidak kondusif untuk belajar (Ramadhan, 2008).
Runikasari (2009) menyebutkan beberapa hal yang dapat menyebabkan anak menjadi underachiever adalah:
a. Situasi keluarga yang tidak stabil, misalnya si anak mengetahui bahwa ayahnya selingkuh sehingga hubungan kedua orangtuanya sudah tidak harmonis.
b. Anak kurang mendapat kesempatan dalam pengayaan sosial dan pendidikan keluarga.
c. Dominasi Ayah dalam keluarga sehingga penghargaan terhadap anak sangat kurang dan seringnya Ayah memberi hukuman berat kepada anak ketika melakukan kesalahan.
d. Orangtua tidak realistis dalam menetapkan target dan memaksakan nilai-nilai tertentu terhadap anak-anaknya, misalnya anak merasa sudah belajar seharian tetap dianggap belum belajar kalau di rumah dia hanya membaca komik.
e. Orangtua tidak pernah atau jarang memberi penghargaan atas prestasi yang diraih anaknya.
f. Orangtua jarang berbagi ide, kepercayaan, kasih sayang dan kesepakatan dengan anaknya.


3. Faktor internal
Selain faktor eksternal, faktor internal (faktor dalam diri anak) juga berpengaruh terhadap anak yang underachiever. Butler-Por (Tarmidi, 2008) mengemukakan beberapa hal dari dalam diri anak yang menyebabkan anak tersebut menjadi underachiever, yaitu:
a. Anak tidak menyadari potensi yang dimilikinya, sehingga mereka kurang memahami dirinya dan orang lain.
b. Mempunyai harapan/target yang terlalu rendah, sehingga membuat anak tidak mempunyai tujuan dan nilai yang jelas.
c. Mempunyai self-esteem yang rendah dan menjadi peka terhadap penilaian orang lain.
Ramadhan (2008) mengemukakan beberapa hal dalam diri anak yang dapat menyebabkan anak tersebut menjadi underachiever, yaitu:
a. Persepsi diri
Tidak tercapainya prestasi sekolah yang baik juga sangat ditentukan oleh karakteristik anak. Salah satunya adalah penilaian anak terhadap kemampuan yang dimilikinya. Penilaian anak terhadap kemampuannya berpengaruh banyak terhadap pencapaian prestasi sekolah. Anak yang merasa dirinya mampu akan berusaha untuk mendapatkan prestasi sekolah yang baik sesuai dengan penilaian dirinya terhadap kemampuan yang dimilikinya. Sebaliknya, anak yang menilai dirinya sebagai anak yang tidak mampu atau anak yang bodoh akan menganggap nilai-nilai kurang yang didapatkannya sebagai hal yang sepatutnya dia dapatkan. Hal tersebut kemudian berimplikasi pada tidak termotivasinya anak untuk meraih prestasi yang lebih tinggi sesuai dengan potensi yang dimiliki.
b. Hasrat berprestasi
Faktor lain dalam diri anak yang menentukan prestasi yang akan dicapainya adalah faktor keinginan untuk berprestasi (need for achievement). Anak yang memiliki dorongan kuat dari dalam dirinya untuk berprestasi akan selalu berusaha meraih prestasi tertinggi dan pantang menyerah terhadap masalah yang dihadapi. Keinginan untuk berprestasi adalah hasil dari pengalaman-pengalaman anak dalam mengerjakan sesuatu. Anak yang sering gagal dalam mengerjakan sesuatu akan mengalami frustasi dan tidak mengharapkan hasil yang baik dan tindakan-tindakan yang dilakukaknnya.
c. Locus of control
Bagaimana anak menilai penyebab prestasi yang dimilikinya dapat menyebabkan tercapainya preatsi yang tinggi. Anak dapat menilai bahwa penyebab terjadinya prestasi tersebut karena faktor usaha yang dilakukannya atau karena faktor-faktor di luar yang tidak dapat dikontrolnya. Anak yang menilai bahwa penyebab terjadinya prestasi karena faktor usaha yang dilakukannya berarti anak tersebut memiliki lokus kontrol (locus of control) internal, dan sebaliknya anak disebut memiliki lokus kontrol eksternal jika penyebab prestasi belajarnya karena pengaruh dari orang lain. Anak yang memiliki lokus kontrol internal akan menilai bahwa angka 4 yang didapatnya dalam pelajaran matematika adalah karena ia kurang belajar, sedangkan mereka yang memiliki lokus kontrol eksternal akan mengatakan karena guru yang sentimen pada dirinya.
d. Pola dan strategi belajar
Pola dan strategi belajar anak sangat mempengaruhi pencapaian prestasi anak. Ada anak yang terbiasa belajar secara teratur walaupun besok harinya tidak ada tes atau ujian tetapi ada pula anak yang hanya belajar jika ada ujian. McClelland, Yewchuk dan Mulcahy (Tarmidi, 2008) mengemukakan beberpa hal dalam strategi belajar yang menyebabkan anak menjadi underachiever, yaitu:
1). Tidak dapat menampilkan performa yang baik dalam situasi tes
2). Mengumpulkan tugas yang belum selesai atau yang dikerjakan dengan tidak sepenuh hati
3). Tidak mau mencoba hal-hal baru
4). Mempunyai kecenderungan perfeksionis dan self-critism
5). Tidak menyukai kegiatan yang membutuhkan latihan teratur, mengingat dan yang membutuhkan penguasaan keahlian tertentu
6). Sulit untuk memberikan atensi dan berkonsentrasi dalam tugas.


C. Karakteristik Anak Underachiever
Saefurohman (2008) mengemukakan bahwa untuk mengenali siswa underachiever ada beberapa karakteristik yang dapat kita pahami, yaitu:
1. Karakteristik utama (primer)
Karakteristik utama yang dihubungkan dengan anak underachiever adalah rendahnya self-esteem (penghargaan terhadap diri) anak tersebut (Preckle & Vock, 2006; Trevallion, 2008, dalam Tarmidi, 2008). Pernyataan tersebut juga dipertegas oleh Butler-Por & Kratzer (Saefurohman, 2008) yang menyatakan bahwa salah satu karakteristik kepribadian siswa underachiever adalah rendahnya konsep diri (konsep penghargaan terhadap diri sendiri). Siswa biasanya menutupi hal tersebut dengan mengembangkan mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) seperti bertindak agresif atau membuat keributan dan lelucon di kelas (berkelakar).
2. Karakteristik sekunder
Karakteristik sekunder berhubungan dengan kecenderungan anak memperlihatkan perilaku menghindar (avoidance behavior). Mereka sering mengatakan bahwa pelajaran di sekolah tidak relevan atau tidak penting karena itu mereka biasanya lebih tertarik kegiatan selain kegiatan sekolah. Kaufman (Saefurohman, 2008) menyatakan bahwa karakteristik menghindar pada anak underachiever diwujudkan dalam dua arah yaitu agresi atau menghindar. Mereka juga akan memperlihatkan ketergantungan seperti tergantung pada orang lain untuk menyelesaikan tugasnya.
3. Karakteristik tersier
Karakteristik tersier siswa underachiever antara lain buruknya kemampuan anak dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah, kebiasaan belajar yang buruk, memiliki masalah penerimaan oleh teman sebaya, konsentrasi yang buruk dalam aktivitas sekolah, tidak dapat mengatur diri baik di rumah maupun di sekolah, mudah bosan, meninggalkan atau mengabaikan kegiatan kelas, memiliki kemampuan berbahasa oral yang baik tetapi buruk dalam menulis, mudah terdistraksi dan tidak sabar, sibuk dengan pikirannya sendiri, kurang jujur, sering mengkritik diri sendiri, mempunyai hubungan pertemanan yang kurang baik, suka bercanda di kelas (membuat keributan), ramah terhadap orang yang lebih tua, dan berperilaku yang tidak biasa.
D. Konsep Diri Akademik
ReisDel Siegle & McCoah (Tarmidi, 2008) mengemukakan bahwa underachievement terjadi karena kegagalan individu untuk merealisasikan diri, karenanya underachievement dapat dilihat sebagai dampak dari perkembangan emosi yang berinteraksi dengan status kognisi yang mengarahkan ke keadaan underachievement. Salah satu faktor yang sering muncul pada siswa underachiever adalah rendahnya self-image dan buruknya self-esteem (Clark, 1992; Davis & Rimm, dalam Tarmidi, 2008). Konsep diri yang positif terbentuk dari prestasi belajar yang diraih anak (Gallager, dalam Tarmidi, 2008). Hasil tinjauan literatur yang dilakukan Lau dan Chan (Tarmidi, 2008) juga menunjukkan hal yang sama, bahwa dari berbagai karakteristik siswa underachiever yang diajukan oleh berbagai peneliti, temuan yang paling konsisten adalah rendahnya konsep diri atau self-esteem mereka, terutama pada area konsep diri akademik.
Dalam konteks demikian, hubungan konsep diri akademik dengan kecenderungan underachievement bersifat resiprokal (Bynre, 1984; Marsh & Yeung, 1997 dalam Tarmidi, 2008). Anak yang underachiever tidak percaya bahwa dirinya mempunyai kemampuan untuk berprestasi, karena itu mereka tidak berusaha keras untuk belajar dan mudah menyerah ketika menghadapi kegagalan. Kegagalan dalam bidang akademik akan membuat anak tidak percaya diri dalam belajar sehingga mereka kehilangan konsep dirinya. Hubungan yang negatif antara konsep diri akademik dengan prestasi menjadi lingkaran yang membuat pola underachievement sulit diputus.
E. Konsep Teoretis Penanganan Underachiever
Model trifokal yang diajukan Rim (Saefurohman, 2008; Tarmidi, 2008) adalah salah satu pendekatan yang paling komprehensif untuk mengatasi siswa yang underachiever. Bakers, Bridger & Evans (Tarmidi, 2008) mengemukakan bahwa aplikasi model ini melibatkan individu sendiri (anak underachiever), lingkungan rumah, dan sekolah. Masing-masing pihak yang terlibat tersebut diikutsertakan dalam program trifokal ini, sehingga setiap orang yang diperkirakan berkontribusi terhadap masalah underachiever dapat menyelesaikan masalah anak dengan lebih komprehensif. Agar dapat mengatasi siswa underachiever dengan tepat, maka diperlukan intervensi yang berbeda pada setiap kasus karena menurut Hansford (Tarmidi, 2004) underachievement sangat spesifik pada masing-masing anak.
Gallagher (Tarmidi, 2008) menyatakan bahwa underachievement adalah pola perilaku yang dipelajari dan dapat diubah melalui upaya-upaya tertentu. Coyle (Tarmidi, 2008) menyatakan bahwa untuk meningkatkan prestasi anak underachiever dapat dilakukan dengan membangun self-esteem, meningkatkan konsep diri, meningkatkan motivasi intrinsik dan ekstrinsik, mengajari cara belajar (study skills), manajemen waktu dan mengatasi kekurangannya dalam hal akademik. Pringle (Tarmidi, 2008) juga menyatakan hal yang sama, bahwa untuk mengatasi siswa underachiever dapat dilakukan oleh guru dengan meningkatkan konsep diri dan moral siswa, memberikan dukungan, memberikan kesempatan untuk mengerjakan sesuatu dengan bebas, ataupun membuat suasana belajar yang menyenangkan. Jika guru bersikap negatif terhadap siswa underachiever atau kurang memperhatikan mereka, akan berakibat makin menguatnya pola underachievement pada siswa tersebut.

BIBLIOGRAFI

Admin. 2007. “Underachiever” (Online). (http://en.wikipedia.org/wiki/Underachie ver, diakses 12 Juni 2009).

Ramadhan, T. 2008. “Underachiever” (Online). (http://tarmizi.wordpress.com/ 2008/11/19/underachiever/, diakses 12 Juni 2009).

Redaksi. 2008. “Anak Cerdas , Mengapa Prestasi Di Sekolah Rendah” (Online). (http://minmalangsatu.net/detail-artikel-128/ANAK_CERDAS___MENGAPA _PRESTASI_DI_SEKOLAH_RENDAH.html, diakses 12 Juni 2009).

Runikasari, S. 2009. “Memotivasi Remaja Underachiever” (Online). (http://www.lptui.com/artikel.php?fl3nc=1¶m=c3VpZD0wMDAyMDAwMDAwNzcmZmlkQ29udGFpbmVyPTY2&cmd=articleDetail, diakses 12 Juni 2009).

Saefurohman, U. 2008. “Memahami Siswa Underachiever” (Online). (http://sd.binamuda.net/index.php?option=com_content&view=article&id=49:memahami-siswa-underachiever&catid=37:artikel&Itemid=18, diakses 12 Juni 2009).

Tarmidi, 2008. “Konsep Diri Siswa Underachiever” (Online). (http://tarmidi. wordpress.com/2008/05/27/konsep-diri-siswa-underachiever/, diakses 12 Juni 2009).

kesehatan mental

By Djenar Siti

A. Konsep Dasar Sehat dan Sakit
Sehat dan sakit merupakan keadaan biopsikososial yang inheren dalam kehidupan manusia. Pengenalan manusia terhadap kedua konsep tersebut memungkinkan pengenalan secara utuh terhadap kondisi dirinya (Notosoedirdjo & Latipun, 2007). Konsep sehat dan sakit pada dasarnya merupakn konsep yang universal dan kedua jargon tersebut telah menjadi bagian yang integratif dalam dinamika kehidupan kita. Aksentuasi pada permasalahan ini adalah menentukan batasan sehat dan sakit bagi individu. Penentuan batas sehat dan sakit merupakan sesuatu yang cukup kompleks, mengingat paradigma sehat dan sakit tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor, misalnya faktor psikologis, sosial, dan budaya serta tata nilai setempat.
Salah satu acuan untuk memahami konsep tentang sehat adalah definisi dari World Health Organization (WHO). WHO merumuskan sehat (health) sebagai keadaan yang paripurna, baik fisik, mental, maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan (cacat). Dalam definisi tersebut, sehat tidak terbatas pada terbebasnya individu dari penyakit, melainkan lebih dari itu, individu harus memiliki keadaan yang sempurna, secara fisik, mental, maupun sosial (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
Selain sehat, ada juga konsep tentang sakit. Sakit dalam bahasa Inggris diungkap dalam 3 istilah berbeda, yaitu disease, illness, dan sickness. Ketiga istilah tersebut mencerminkan bahwa sakit mengandung tiga pengertian dalam kerangka dimensi biologis, psikologis, dan sosial (biopsikososial). Secara khusus, disease berdimensi biologis, illness berdimensi psikologis, dan sickness berdimensi sosiologis (Calhoun, dkk., dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
Disease (penyakit) berarti suatu penyimpangan yang simptomnya diketahui melalui diagnosis, berdimensi biologis dan objektif, serta bersifat independen dari pertimbangan-pertimbangan psikososial. Illness (sakit/nyeri) merupakan konsep psikologis yang menunjuk pada perasaan, persepsi, atau pengalaman subjektif seseorang tentang ketidaksehatannya atau keadaan tubuh yang dirasakan tidak nyaman. Karena bersifat subjektif, maka tidak menutup kemungkinan sakit (nyeri) yang dirasakan individu tersebut juga dirasakan sebagai sakit (nyeri) oleh individu lain. Sickness (kesakitan) merupakan konsep sosiologis yang bermakna sebagai penerimaan sosial terhadap seseorang sebagai orang yang sedang mengalami kesakitan. Dalam keadaan sickness demikian, individu dibenarkan melepaskan tanggung jawab, peran, maupun kebiasaan-kebiasaan tertentu yang dilakukan saat sehat karena adanya kondisi ketidaksehatan tersebut. Kesakitan dalam konsep sosiologis ini menyangkut peran khusus individu sehubungan dengan perasaan kesakitan tersebut sekaligus mencari tanggung jawab baru, yaitu upaya penyembuhan.
Lyttle & Pacther (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa peran sakit hanya dilakukan dan diakui oleh masyarakatnya jika kondisi tersebut paralel dengan paradigma dan tata nilai yang berlaku. Selain itu, justifikasi sakit juga sangat tergantung dengan keyakinan lokal dan norma sosial serta keagamaan yang dianut oleh masyarakat setempat. Hal tersebut juga berlaku untuk jenis gangguan mental (mental illness).
Meski pengertian sakit bersifat relatif, pada dasarnya dapat ditemukan beberapa definisi operasional tentang sakit. Lyttle (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa sakit merupakan kondisi yang ditandai dengan adanya gangguan atau kehilangan fungsi dan dapat merupakan keadaan yang berada dalam rentangan ketidaksenangan hingga ketidakcakapan atau ketidakmampuan serta mati.
B. Konsep Dasar Kesehatan Mental (Mental Hygiene)
1. Definisi Kesehatan Mental
Kesehatan mental dalam terminologi psikologi sering disebut dengan mental hygiene, meski dalam aplikasinya sering pula disamakan dengan psychological medicine, nervous health, dan mental health. Meski memiliki maksud yang sama, namun substansi dari keempat istilah tersebut berbeda. Mental health, meski dalam terminologi bahasa Indonesia berarti kesehatan mental, namun substansinya berbeda dengan mental hygiene, karena mental health berarti keadaan jiwa yang sehat dan bersifat statis, sedangkan mental hygiene bersifat dinamis dan ditunjukkan dengan adanya usaha peningkatan kualitas kesehatan mental melalui intervensi tertentu. Pun demikian, mental health cenderung lebih populer dan diaplikasikan secara massif, termasuk oleh WHO sendiri (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
Kartono & Andari (1989) berpendapat bahwa mental hygiene tidak hanya dapat diartikan sebagai kesehatan mental belaka. Lebih jauh, menurut Kartono & Andari, mental hygiene adalah ilmu pengetahuan tentang kesehatan mental. Mental hygiene merupakan ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental, bertujuan untuk mencegah timbulnya gangguan atau penyakit mental, penyembuhan penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa secara komprehensif. Dengan demikian, maka mental hygiene menggambarkan adanya usaha untuk mendapatkan:
a. Keseimbangan jiwa;
b. Menegakkan kepribadian yang terintegrasi dengan baik; dan
c. Mampu memecahkan segal kesulitan hidup dengan kepercayaan diri dan keberanian.
Wiramihardja (2004) mengemukakan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi mental yang tumbuh dan berkembang dan didasari motivasi yang kuat untuk meraih kualitas diri yang lebih baik dalam berbagai dimensi kehidupan. Michael dan Kirk Patrick (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah kondisi dimana mental individu terbebas dari gejala psikiatris dan individu tersebut berfungsi secara optimal dalam lingkungan sosialnya.
World Federation for Mental Health, dalam konvensi tahun 1948 di London merumuskan definisi kesehatan mental sebagai suatu kondisi yang optimal dari aspek intelektual, yaitu siap untuk digunakan, dari aspek emosional yang mantap atau stabil, sehingga perilakunya tidak mudah tergoncang oleh situasi yang berubah di lingkungannya, tidak hanya bebas dari gangguan kejiwaan, sepanjang tidak mengganggu lingkungannya (Wiramihardja, 2004).
Definisi kesehatan mental juga diungkap oleh beberapa ahli, yaitu:
a. Karl Menninger (Wiramihardja, 2004), seorang psikiater mendefinisikan kesehatan mental sebagai penyesuaian (adjusment) manusia terhadap lingkungan sekitarnya dan dengan orang-orang lain dengan keefektifan dan kebahagiaan optimal. Dalam mental yang sehat terdapat kemampuan untuk memelihara watak, inteligensi yang siap digunakan, perilaku yang dipertimbangkan secara sosial, dan disposisi yang bahagia.
b. HB. English (Wiramihardja, 2004) mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah keadaan yang secara relatif menetap dimana seseorang dapat menyesuaikan diri dengan baik, memiliki semangat hidup yang tinggi dan terpelihara, dan berusaha mencapai aktualisasi diri atau realisasi diri yang optimal.
c. Killander (Wiramihardja, 2004) mengemukakan bahwa kesehatan mental merupakan keadaan yang ditunjukkan dengan kematangan secara emosional, kemampuan menerima realitas, kesenangan hidup bersama orang lain, dan memiliki filsafat atau pegangan hidup dalam masa-masa sulit dalam hidupnya.
d. Coleman dan Broen Jr (Wiramihardja, 2004) mengemukakan bahwa ada enam sifat orang yang dikatakan sehat mental, yaitu:
1). Sikap terhadap diri sendiri yang positif (positive attitude toward self), menekankan pada penerimaan diri (self-acceptance), identitas yang adekuat, dan apresiasi realistik terhadap kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
2). Persepsi atas realitas (perception of reality), yaitu suatu pandangan yang realistik atas diri sendiri dan dunia serta lingkungan sekitarnya.
3). Keutuhan (integration), yaitu kesatuan dari kepribadian, kemampuan menghadapi konflik dalam diri (inner conflict), serta toleransi yang baik terhadap stres.
4). Kompetensi, yaitu adanya perkembangan kompetensi, baik fisik, emosional, dan sosial untuk menanggulangi masalah kehidupan. Kompetensi mengandung keterampilan, pengetahuan, sikap, dan perilaku yang sesuai dan adekuat.
5). Otonomi, yaitu keyakinan diri, rasa tanggung jawab, dan pengaturan diri (self-control) yang adekuat, bersama-sama dengan kemandirian dalam konteks pengaruh sosial.
6). Pertumbuhan atau aktualisasi diri yang menekankan pada kecenderungan terhadap kematangan yang meningkat, perkembangan potensialitas, dan kepuasan sebagai pribadi.
2. Karakteristik kesehatan mental
Schneiders (1964) mengemukakan bahwa kesehatan mental memiliki beberapa karakteristik khusus, yaitu:
a. Adequate contact with reality (interaksi yang adekuat dengan lingkungan)
Interaksi dengan lingkungan merupakan aktualisasi sikap terhadap lingkungan yang dapat berupa penerimaan realitas, penolakan, dan penghindaran. Individu yang terlalu menekankan diri pada masa lalunya cenderung tidak dapat menerima realitas. Kurangnya orientasi individu terhadap realitas sangat mungkin diasosiasikan dengan maladjusment (kegagalan dalam penyesuaian diri) dan gangguan neurotis. Penyesuaian yang baik dan mental yang sehat membutuhkan kontak yang menyeluruh dengan lingkungan sekitar, yaitu orang-orang, kejadian, dan realitas lainnya.
b. Healthy attitudes (sikap yang sehat)
Sikap yang sehat dalam terminologi psikologi merupakan asumsi (sikap) terhadap pekerjaan, teman, agama, kelompok ras, kematian, dan hal-hal lainnya yang menjadi bagian dari kehidupan individu sehari-hari. Sikap yang sehat lahir dari interaksi secara menyeluruh terhadap lingkungan sekitarnya. Sikap yang sehat berakar dari tata nilai yang dianut individu dan pembentukan sikap yang sehat sangat tergantung pemenuhan tata nilai tersebut.
c. Control of thought and imagination (kontrol terhadap pikiran dan imajinasi)
Kontrol terhadap pemikiran dapat membantu pengembangan sikap yang sehat serta membentuk perspektif yang komprehensif terhadap dunia. Bila kontrol tersebut hilang, maka individu akan mudah terobsesi, kemandegan ide atau gagasan, fobia, pikiran yang tidak terfokus, dan simptom lain yang menunjukkan kepribadian yang neurotik dan psikotik.
d. Mental efficiency (efisiensi mental)
Kontrol terhadap pikiran dan kemampuan mental lainnya merupakan dasar bagi terbentuknya efisiensi mental. Kemampuan untuk mendayagunakan berbagai faktor mental, seperti inteligensi, kekuasaan, dan ingatan secara efektif mendukung terciptanya stabilitas mental. Gangguan-gangguan emosional seperti pada individu yang neurotik atau psikotik merupakan karakteristik dari individu yang kurang efisiensi mentalnya. Dengan demikian, efisiensi mental diasosiasikan dengan stabilitas mental individu.
e. Integration of thought and conduct (integrasi antara pikiran dan perilaku)
Kesenjangan antara apa yang dipikirkan dan apa yang dilakukan tidak mendukung terciptanya stabilitas mental. Kesatuan antara pikiran dan perilaku sangat ditentukan oleh perilaku yang konsisten dan reliabel yang mencakup kesetiaan, kepercayaan, dan kepercayaan diri. Individu yang pembohong, perampok, psikopat, dan pelaku kriminal merupakan pribadi yang utuh dan merupakan karakteristik dari patologi mental.
f. Adequate concept of self (konsep diri yang cukup)
Mental yang sehat membutuhkan konsep diri yang cukup. Individu yang mentalnya sehat melihat sesuatu dari berbagai perspektif dan mempersepsinya secara objektif. Perasaan bahwa individu tersebut serba kekurangan, ketidakberdayaan, atau ketidakamanan tidak mendukung perkembangan mental yang sehat.
Sementara itu, Maslow dan Mittlemenn (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa karakteristik mental yang sehat adalah:
a. Adequate feeling of security, yaitu perasaan individu yang aman dalam menjalin hubungan dengan lingkungan sosialnya.
b. Adequate self-evaluation, yaitu mencakup harga diri yang memadai dan memiliki perasaan bahwa dirinya berguna untuk dirinya dan orang lain
c. Adequate spontanity and emotionality, yaitu kemampuan untuk membentuk ikatan emosional secara kuat dan abadi, memberi ekspresi yang cukup terhadap perasaan ketidaksukaan terhadap sesuatu tanpa kehilangan kontrol, kemampuan memahami dan membagi rasa kepada orang lain.
d. Efficient contact with reality, ditandai dengan tidak adanya fantasi yang berlebihan, mempunyai pandangan yang realistis dan komprehensif terhadap dunia disertai kemampuan menghadapi kesulitan hidup, dan kemampuan penyesuaian diri terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
e. Adequate bodily desires and ability to gratify them, ditandai dengan beberapa hal, yaitu sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani, kemampuan memperoleh kenikmatan dari aktivitas-aktivitas fisik, kehidupan sosial yang wajar, kemampuan bekerja, dan tidak adanya kebutuhan yang berlebihan.
f. Adequate self-knowledge, yaitu mengetahui dengan baik dinamika psikologis dalam dirinya serta penilaian yang realistis terhadap kelebihan dan kelemahan dirinya.
g. Integration and consistency of personality, ditandai dengan perkembangan fisik dan psikis yang baik, prinsip moral dan tata nilai yang cenderung sama dengan kelompoknya, mampu berkonsentrasi, serta tidak adanya konflik intra-personal yang dapat mengganggu stabilitas dan perkembangan kejiwaannya.
h. Adequate life goal, yaitu adanya tujuan hidup yang jelas dan realistis, usaha untuk mencapai tujuan tersebut, dan tujuan tersebut baik untuk diri sendiri dan masyarakat.
i. Ability to learn from experience, yaitu alastisitas dan kemauan menerima kenyataan, tidak takut terhadap kegagalan, serta kemampuan untuk belajar secara spontan.
j. Ability to satisfy the requirements of the group, yaitu dapat menyesuaikan diri dengan baik pada kelompoknya, terutama dalam hal tata nilai dan budaya kelompok serta perilaku sosial dalam kelompok.
k. Adequate emancipation from the group or culture, ditandai dengan kemampaun menghargai perbedaan budaya dan paradigma, tidak memanfaatkan orang atau kelompok lain, serta kemampuan menilai secara objektif.
C. Ruang Lingkup Kesehatan Mental
Notosoedirdjo & Latipun (2007) mengemukakan bahwa kalangan ahli kesehatan mental membatasi ruang lingkup kesehatan mental pada dua aspek, yaitu: (a) pemeliharaan dan promosi kesehatan mental individu dan masyarakat dan (b) prevensi dan perawatan terhadap penyakit dan kerusakan mental. Ruang lingkup kesehatan mental tidak hanya mencakup perawatan kesehatan individu (individual health care) tetapi juga pelayanan kesehatan masyarakat (public health care).
Caplan (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa lingkup kerja kesehatan mental mencakup beberapa dimensi sebagai berikut:
1. Promosi kesehatan mental
Promosi kesehatan mental adalah usaha-usaha yang bertujuan untuk peningkatan kesehatan mental, baik individu maupun masyarakat. Usaha demikian berangkat dari asumsi bahwa kesehatan mental ditingkatkan secara optimal, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
2. Prevensi primer
Prevensi primer merupakan usaha kesehatan mental untuk mencegah timbulnya gangguan dan sakit mental. Usaha demikian dilakukan sebagai perlindungan terhadap kesehatan mental individu maupun masyarakat agar gangguan dan sakit mental tersebut tidak terjadi.
3. Prevensi sekunder
Prevensi sekunder adalah usaha kesehatan mental melalui penemuan kasus sedini mungkin (early case detection) dan penyembuhan secara tepat (prompt treatment) terhadap gangguan dan sakit mental. Usaha tersebut dilakukan untuk mengurangi durasi gangguan dan mencegah jangan sampai terjadi cacat pada seseorang atau masyarakat.
4. Prevensi tersier
Prevensi tersier merupakan usaha rehabilitasi awal yang dapat dilakukan terhadap orang yang mengalami gangguan kesehatan mental. Usaha ini bertujuan untuk mencegah disabilitas atau ketidakmampu. an mental yang dapat menjadi kecacatan permanen.
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental
Kesehatan mental merupakan entitas yang dipengaruhi oleh beberapa faktor internal maupun eksternal. Kesehatan mental tidak dapat tercapai jika tidak memperhatikan faktor-faktor tersebut, karena secara substantif faktor-faktor tersebut memainkan peran yang signifikan dalam dinamika kesehatan mental.
1. Faktor biologis
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan mental adalah faktor biologis. Faktor biologis ini mencakup beberapa hal, yaitu:
a. Otak
Otak merupakan pusat dari segala aktivitas tubuh, baik aktivitas fisiologik maupun aktivitas psikologis. Otak merupakan pusat keseimbangan, motivasi, afeksi, dan beberapa dimensi lainnya psikologis lainnya.
Perkembangan fisiologis otak sejalan dengan perkembangan mental manusia dan bahwa perkembangan kepribadian manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi lima tahun awal. Terjadinya kerusakan pada otak sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental individu. Beberapa jenis gangguan mental yang berhubungan dengan kerusakan otak adalah demensia, epilepsi, general parasis, sindroma Korsakoff, dan sindroma Kluver-Bucy (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
b. Sistem endokrin
Kelenjar endokrin merupakan senyawa kimiawi yang mengeluarkan hormon dan diangkut ke seluruh tubuh. Kelenjar endokrin mencakup tujuh macam kelenjar, yaitu kelenjar pituitari, tiroid, paratiroid, adrenal, gonad, timus, dan pankreas. Gangguan mental yang disebabkan abnormalitas fungsi kelenjar endokrin prevalensinya masih sedikit, akan tetapi hal tersebut perlu mendapat perhatian dan dapat dicegah melalui pengaturan pola makan dan mengaplikasikan pola hidup bersih dan sehat (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
c. Genetik
Faktor genetik merupakan salah satu faktor dalam pewarisan sifat-sifat manusia kepada keturunannya. Riset Gregor Mendel membuktikan bahwa faktor gen sangat berpengaruh terhadap pembantukan sifat dan karakter manusia yang diturunkan dari ayah atau ibunya. Kecenderungan psikosis seperti skizofrenia dan manis-depresif merupakan sakit mental yang diwariskan secara genetis dari induknya. Gangguan mental lain yang bersifat genetis adalah alzheimer, phenylketunurine, huntington, dan adiksi alkohol serta obat-obatan terlarang (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
2. Faktor psikologis
Aspek psikis manusia pada dasarnya merupakan satu kesatuan dengan sistem biologis. Sebagai sub sistem dari eksistensi manusia, aspek psikis senantiasa terlibat dalam dinamika kemanusiaan yang multi aspek. Ada beberapa aspek psikis yang berpengaruh terhadap kesehatan mental, yaitu (Notosoedirdjo & Latipun, 2007):
a. Pengalaman awal
Pengalaman awal merupakan keseluruhan pengalaman maupun kejadian yang dialami seseorang yang mempengaruhi perkembangan dan kesehatan mentalnya. Psikolog bahkan menganggap pengalaman awal sebagai bagian penting dari perkembangan fisik dan mental seseorang dan akan sangat menentukan kondisi dan kesehatan mentalnya di kemudian hari.
b. Proses pembelajaran
Perilaku manusia sebagian besar adalah merupakan produk dari aktivitas belajar melalui pelatihan dan pengalaman sehari-hari. Terdapat tiga saluran belajar, yaitu:
1). Belajar dengan asosiasi (learning by association)
Belajar dengan asosiasi sering diistilahkan dengan classical conditioning yang dikemukakan oleh Ivan Pavlov. Menurut Pavlov, interaksi antara lingkungan dengan individu sangat penting karena dari interaksi tersebut akan mempengaruhi perkembangan dan kematangan kepribadian seseorang. Lebih lanjut, Pavlov mengemukakan bahwa ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu organisme selalu berinteraksi dengan lingkungan dan dalam interaksi itu organisme dilengkapi dengan refleks.
2). Belajar dengan konsekuensi (learning by consequencies)
Belajar dengan konsekuensi dikemukakan oleh BF. Skinner. Skinner mengemukakan bahwa lingkungan memainkan peran yang signifikan dalam membentuk kepribadian seseorang melalui mekanisme konsekuensi penyertaan atas perilaku tertentu, yaitu punishment (hukuman) dan reward (hadiah).

3). Belajar dengan mencontoh (learning by modelling)
Konsep belajar dengan mencontoh dikemukakan oleh Albert Bandura melalui teori social learning. Menurut Bandura, anak-anak berperilaku agresif setelah mencontoh perilaku model yang dilihatnya. Kegiatan mencontoh dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
c. Kebutuhan
Pemenuhan kebutuhan dapat meningkatkan kesehatan mental seseorang. Individu yang telah mencapai aktualisasi diri (orang yang telah mengeksploitasi segenap kemampuan, bakat, dan keterampilan secara massif) akan mencapai suatu tingkatan yang disebut dengan peak experience. Dalam berbagai studi yang dilakukan oleh Abraham Maslow, ditemukan bahwa orang-orang yang mengalami gangguan mental-khususnya yang menderita neurosis- disebabkan oleh ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Berangkat dari hasil penelitian tersebut Maslow menyimpulkan bahwa gangguan dan penyakit mental-psikosis dan neurosis- merupakan implikasi dari defisiensi (ketidakmampuan memenuhi dan memuaskan) kebutuhan, baik kebutuhan dasar maupun kebutuhan lanjutan (kebutuhan untuk tumbuh kembang).
3. Faktor sosial budaya
a. Stratifikasi sosial
Penelitian yang dilakukan oleh Holingshead dan Redlich (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) menemukan bahwa stratifikasi sosial yang ada di masyarakat ternyata berhubungan dengan jenis gangguan mentalnya. Terdapat distribusi gangguan mental secara berbeda antara kelompok masyarakat yang berada pada strata sosial tinggi dengan strata sosial yang rendah. Dalam berbagai studi dipahami bahwa kelompok strata sosial rendah memiliki prevalensi yang lebih tinggi terhadap gangguan psikiatrik dibanding dengan kelompok kelas sosial tinggi (Heller, dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
b. Interaksi sosial
Dinamika sosial seperti interaksi sosial banyak dikaji dalam kaitannya dengan gangguan mental. Ada dua pandangan hubungan interaksi sosial dengan gangguan mental. Pertama, teori psikodinamika mengemukakan bahwa individu yang mengalami gangguan emosional dapat berimplikasi pada pengurangan interaksi sosial yang dapat diketahui dari perilaku regresi sebagai akibat dari adanya sakit mental. Kedua, bahwa rendahnya interaksi sosial yang berimplikasi pada gangguan mental.
Faris dan Dunham (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa kualitas interaksi sosial individu sangat mempengaruhi kesehatan mentalnya. Lingkungan kehidupan serta tatanan sosial sedikit banyak mempengaruhi dinamika dan kesehatan mental individu. Dalam berbagai studi terungkap bahwa hubungan interpersonal memiliki implikasi yang signifikan dalam peningkatan kesehatan mental individu.
c. Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan terdkat dengan individu yang berperan besar dalam membentuk karakter serta mempengaruhi perkembangannya, baik secara fisik maupun psikis. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta dapat membentuk homeostatis dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarganya serta peningkatan resistensi terhadap berbagai gangguan dan penyakit mental.
Dalam pandangan psikodinamika, keluarga merupakan entitas yang secara langsung mempengaruhi pola pikir dan perkembangan psikologis individu. Keluarga merupakan lingkungan mikrosistem yang menentukan kepribadian dan kesehatan mental anak. Dengan demikian, keluarga merupakan lingkungan yang sangat penting dari keseluruhan sistem lingkungan.
E. Penyesuaian Diri (Self-Adjusment)
Schneider (1964) mengemukakan bahwa penyesuaian diri adalah proses yang melibatkan respon mental dan perilaku individu yang berusaha mengatasi masalah-masalah dalam dirinya, seperti kebutuhan-kebutuhan, ketegangan diri, frustrasi, dan konflik-konflik dan untuk menciptakan situasi konformis (selaras) antara kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan lingkungan sekitarnya. Kartono dan Andari (1989) mengemukakan bahwa penyesuaian diri (self adjusment) adalah usaha individu untuk mencapai harmoni atau keselarasan pada diri sendiri dan pada lingkungannya, sehingga rasa pernusuhan, dengki, prasangka, depresi, kemarahan, dan emosi negatif lainnya dapat diminimalisir, sehingga dihasilkan pribadi yang sehat, baik secara fisik maupun secara mental.
Lebih lanjut, Kartono dan Andari (1989) mengemukakan bahwa dalam konteks kesehatan mental, penyseuaian diri (adjusment) dapat dijabarkan dalam beberapa perspektif sebagai berikut:
1. Adjusment berarti adaptasi atau penyesuaian diri, yaitu kemampuan untuk dapat mempertahankan eksistensinya dan memperoleh kesejahteraan jasmani dan rohani.
2. Adjusment dapat diartikan sebagai konformitas, yaitu kesesuaian dengan norma-norma hati nurani dan tata nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
3. Adjusment dapat diartikan sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk merencanakan, mengorganisir respon-respon sedemikian rupa, sehingga dapat menguasai dan merespon dengan tepat dan efisien segala konflik yang dihadapi, kesulitan-kesulitan hidup, dan rasa frustrasi dalam diri.
4. Adjusment dalam konteks keluarga, yaitu memiliki hubungan interpersonal yang baik dan matang dengan seluruh anggota keluarga.
5. Adjusment sebagai bentuk penyesuaian kultural, yaitu kemampuan menghargi tata nilai, hukum, adat dan kebiasaan, norma sosial, dan entitas kultural lainnya.

Kartono, K. & Andari, J. 1989. Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam. Bandung: Mandar Maju.

Notosoedirdjo, M. & Latipun. 2007. Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan. Malang: UMM Press.

Schneiders, A. A. 1964. Personal Adjusment and Mental Health. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Wiramihardja, S. A. 2004. Pengantar Psikologi Klinis. Bandung: Refika Aditama.

social support and behavior toward others (dukungan sosial dan perilaku terhadap orang lain): suatu tinjauan psikologi

By Djenar Siti

Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari konteks sosiologis-kemasyarakatan. Dalam konstruk demikian, interaksi sosial menjadi suatu keniscayaan dalam entitas psikologis dan sosial individu dan masyarakat. Kekuatan interaksi antara satu individu dengan individu lain dalam masyarakat menjadi satu preferensi dalam menilai sejauhmana kohesi sosial yang terjadi di antara individu-individu tersebut.
Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia hidup di dunia tidak akan pernah terlepas dari keterikatannya dengan manusia lain. Adalah sesuatu yang absurd ketika pada satu kondisi individu menganggap bahwa dirinya sama sekali lepas dari individu lain dan dengan independensinya tersebut dia menganggap bahwa eksistensi dirinya tidak ada keterkaitan sama sekali dengan individu lain. kondisi ini yang sesungguhnya memunculkan suatu konsep bahwa keberhasilan berupa pencapaian dan prestasi, maupun kegagalan yang dialami individu tidak terlepas dari andil individu lain, terutama dalam konstruk sosial yang menyajikan beragam dinamika sosial.
Terlepas dari pandangan sebagian individu yang paradoks dengan kenyataan sosial yang ada, peran dan andil individu lain ternyata cukup signifikan bagi keberhasilan maupun kegagalan individu lainnya. Dalam hidup, individu membutuhkan dukungan dari individu lain, tentunya dengan berbagai motivasi. Motivasi tersebut dapat berupa keinginan untuk menjadi lebih baik dalah hal prestasi akademik, peningkatan kepercayaan diri, serta menghargai diri sendiri (self-esteem).
Dukungan dan perilaku sosial sebagai bagian dari dinamika sosial merupakan entitas yang cukup kompleks. Hal ini dapat dipahami dari kenyataan yang ada, bahwa individu memberi dukungan sosial terhadap individu lain dilandasi beragam motivasi, sehingga hal tersebut agak sulit bila dilihat dalam perspektif hitam dan putih. Selanjutnya, perilaku individu dalam konteks sosial memiliki warna yang beragam, terlebih jika menyangkut ranah kepentingan.

A. Dukungan Sosial
1. Definisi dukungan sosial
Etzion (Farhati & Rosyid, 1996) mengemukakan bahwa dukungan sosial merupakan hubungan antar individu yang di dalamnya terdapat satu atau lebih ciri-ciri, antara lain bantuan atau pertolongan dalam bentuk fisik, perhatian emosional, pemberian informasi dan pujian. Sementara itu, Johnson & Johnson (Farhati & Rosyid, 1996) mendefinisikan dukungan sosial sebagai eksistensi individu lain yang dapat diandalkan sebagai tempat meminta bantuan, dorongan, dan penerimaan bila individu lain mengalami kesulitan.
Dukungan sosial merupakan dukungan secara fisik dan emosional terhadap individu tertentu yang berasal dari keluarga, teman dekat, rekan kerja, dan dari individu lainnya. Dengan demikian, individu yang menerima dukungan tersebut menganggap bahwa dirinya dicintai, diperhatikan, dan berharga. Jika individu diterima dan dihargai secara positif, maka individu tersebut cenderung mengembangkan sikap positif terhadap diri sendiri dan lebih menerima dan menghargai dirinya sendiri.
Cobb (Wortman, Elizabeth, & Weaver, 1999) mengemukakan bahwa dukungan sosial merupakan pengetahuan individu bahwa dirinya dicintai, diperhatikan dengan baik, dan berharga, dan hubungan sosial yang dekat. Pengetahuan demikian dapat membantu individu untuk meredam efek negatif dari stres dan mengurangi risiko munculnya penyakit-penyakit tertentu. Dukungan sosial dapat bersumber dari teman, anak, pacar, anggota kelompok, bahkan dari hewan piaraan sekalipun.
Santrock (2005) mengemukakan bahwa dukungan sosial merupakan informasi dan umpan balik (feedback) dari orang lain bahwa individu itu dicintai, diperhatikan, dihargai dalam hubungan komunikasi yang dekat. Taylor (Santrock, 2005) mengemukakan bahwa dukungan sosial membantu individu dalam mengatasi stres yang dialami.
Definisi lain dari dukungan sosial dikemukakan oleh Gottlieb (Kuntjoro, 2002), yaitu informasi verbal dan non verbal, saran, bantuan nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya yang berpengaruh positif terhadap kondisi emosional yang menerima dukungan tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial merupakan dukungan sosial merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang didapat lewat pengetahuan bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai oleh orang lain dan ia juga merupakan anggota dalam suatu kelompok yang berdasarkan kepentingan bersama. Dukungan tersebut memberi ekses positif bagi kondisi emosional individu atau kelompok yang menerima dukungan sosial tersebut.
2. Bentuk-bentuk dukungan sosial
Sheridan dan Radmacher membagi dukungan sosial kedalam lima bentuk, yaitu (http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/dukungan-sosial/):
a. Dukungan instrumental (tangible assisstance)
Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi stress karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Dukungan instumental sangat diperlukan terutama dalam mengatasi masalah dengan lebih mudah.
b. Dukungan informasional
Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, saran atau umpan balik tentang situasi dan kondisi individu, Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah.
c. Dukungan emosional
Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan dan dicintai oleh sumber dukungan sosial sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol.
d. Dukungan pada harga diri
Bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada individu, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat induividu, perbandingan yang positif dengan individu lain. Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi.
e. Dukungan dari kelompok sosial
Bentuk dukungan ini akan membuat individu merasa bahwa dirinya merupakan anggota dari suatu kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktifitas sosial dengannya. Dengan demikian, individu akan merasa memiliki teman senasib yang mengerti dan paham akan apa yang sedang dialaminya.
3. Sumber-sumber dukungan sosial
Dukungan sosial dapat berasal dari berbagai lingkungan, yaitu:
a. Keluarga
Kartono (1986) mengemukakan bahwa dukungan sosial salah satunya bersumber dari lingkungan keluarga, yaitu orang tua, anak, dan kerabat lainnya. Keluarga merupakan institusi primordial bagi remaja untuk melakukan sosialisasi, interaksi, dan merasakan suasana yang aman dan nyaman. Wills (Muller (Ed), 2004) mengemukakan bahwa remaja yang merasakan penerimaan dan dukungan dari anggota keluarga lebih apresiatif terhadap kondisi psikologisnya dan lebih responsif dalam coping yang efektif dibandingkan dengan remaja lain yang tidak merasakan hal demikian.
b. Teman sebaya
Dukungan sosial dapat pula datang dari teman sebaya. Dukungan sosial teman sebaya merupakan dukungan berupa adanya keterlibatan dan penerimaan remaja dalam kelompok sehingga memberikan kesempatan bagi remaja untuk berinteraksi dan mempelajari kemampuan interpersonal dan kemampuan sosialnya. Dukungan sosial yang potensial datang dari individu lain, baik kerabat maupun teman sebaya. Remaja membutuhkan dukungan sosial, tidak hanya dari lingkungan keluarga, melainkan juga dari lingkungan sosial tempat dia berinteraksi dengan orang lain. Kehadiran teman akrab merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dinamika psikologis dan sosial individu. Dukungan dari teman akrab akan sangat menunjang bagi keberhasilan individu untuk melakukan hal yang terbaik dalam hidupnya. Dalam dunia akademik misalnya, dukungan dari rekan mahasiswa atau teman akrab akan berpengaruh secara signifikan bagi prestasi mahasiswa yang bersangkutan.
4. Dampak dukungan sosial
Lieberman mengemukakan bahwa secara teoritis dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stress. Apabila kejadian tersebut muncul, interaksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu pada kejadian tersebut dan oleh karena itu akan mengurangi potensi munculnya stress. Dukungan sosial juga dapat mengubah hubungan anatara respon individu pada kejadian yang dapat menimbulkan stres dan stres itu sendiri, mempengaruhi strategi untuk mengatasi stres dan dengan begitu memodifikasi hubungan antara kejadian yang menimbulkan stres mengganggu kepercayaan diri, dukungan sosial dapat memodifikasi efek itu (http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/dukungan-sosial/).
Dukungan sosial ternyata tidak hanya memberikan efek positif dalam mempengaruhi kejadian dan efek stres. Beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan sosial, antara lain (http://creasoft.wordpress.com/2008 /04/15/dukungan-sosial/):
1. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secra emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan.
2. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu.
3. Sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, seperti melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.
4. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya. Keadaan ini dapat mengganggu program rehabilitasi yang seharusnya dilakukan oleh individu dan menyebabkan individu menjadi tergantung pada orang lain.

B. Perilaku Sosial
Dalam konteks sosial, kecenderungan individu untuk menjadi baik atau buruk -terutama dalam hal perilaku- dibentuk oleh hubungan sosialnya dengan lingkungan sekitar. Anak-anak dibentuk oleh orang tuanya untuk menjadi anggota masyarakat yang baik, dan jika anak tersebut tidak dapat memenuhi asa dimaksud, maka hal tersebut disebabkan kegagalan orang tua dalam mendidik dan mengarahkan anak tersebut (Muller (Ed), 2004).
Ikatan sosial berperan penting dalam membantu individu mengatasi stres dalam kehidupan nyata. Aspek lain dari hubungan sosial yang dapat mempengaruhi coping adalah bagaimana individu merespon konflik yang di alami dalam hubungan-hubungan sosial tersebut. Ekspresi yang asertif (tegas) merupakan salah satu bentuk komunikasi yang ideal (Santrock, 2005).
Pada kenyataannya, tidak semua individu dapat bertindak secara asertif (percaya diri dan tegas). Individu dapat merespon konflik yang dihadapi dalam hidup dengan empat cara, yaitu (Santrock, 2005):
1. Acting agressively (bertindak agresif)
Orang-orang yang merespon secara agresif konflik yang sedang dihadapi sering bertindak kasar terhadap orang lain. Mereka suka menuntut, kasar, dan cenderung memusuhi orang lain. Orang-orang yang agresif tidak peka (tidak menghargai) hak-hak orang lain.
2. Acting manipulatively (bertindak manipulatif)
Orang-orang yang manipulatif mencoba memperoleh apa yang mereka inginkan dengan membuat orang lain merasa kasihan atau membuat mereka merasa bersalah. Mereka cenderung tidak bertanggung jawab terhadap terhadap pemenuhan kebutuhan mereka sendiri. Bahkan, orang-orang seperti itu terkadang berpura-pura menjadi korban agar orang lain mau berbuat sesuatu untuk kepentingan mereka.
3. Acting passively (bertindak pasif)
Orang-orang yang pasif bertindak tidak tegas dan percaya diri, pasrah terhadap apa yang dialaminya. Mereka membiarkan orang lain bertindak kasar kepada dirinya tanpa pernah berinisiatif untuk melawan atau menghentikannya. Mereka bahkan tidak mengekspresikan apa yang mereka rasakan dan tidak membiarkan orang lain mengetahui masalah atau kebutuhannya. Dalam kerangka pikirnya, mereka merasa tidak berdaya sama sekali dan bahkan merasa tidak berharga (lost of self-esteem).
4. Acting assertively (bertindak asertif)
Orang-orang yang asertif mengekspresikan apa yang mereka rasakan, meminta apa yang mereka butuhkan (inginkan), dan mengatakan ‘tidak’ terhadap apa yang tidak mereka inginkan. Ketika seseorang bertindak asertif, mereka bertindak dengan cara yang terbaik dan menegakkan hak-haknya, sehingga hak-haknya itu diakui oleh orang lain. Alberti dan Emmons (Santrock, 2005) mengemukakan bahwa asertifitas menciptakan hubungan yang setara (equal relationship) dalam konstruk sosial.
Bourne (Santrock, 2005) mengemukakan beberapa strategi untuk menjadi individu yang lebih asertif, yaitu:
1. Luangkan waktu untuk mendiskusikan apa yang ingin didiskusikan.
Berdiskusilah dengan orang lain untuk menciptakan suasana nyaman dan menyenangkan. Dengan diskusi, diharapkan akan muncul pencerahan dalam diri sehingga dapat memahami masalah atau konflik yang sedang dihadapi secara signifikan.
2. Nyatakan masalah dalam proposisi tertentu dari konsekuensinya terhadap anda.
Deskripsikan masalah secara objektif semampu anda tanpa menjustifikasi atau menyalahkan orang lain. Sebagai contoh, anda mungkin memberitahu teman sekamar atau anggota keluarga anda “Saya terganggu dengan suara keras dari musik anda. Saya sedang belajar untuk ujian besok dan suara keras tersebut membuat saya tidak dapat berkonsentrasi”
Dalam konteks psikologi sosial, perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perilaku prososial dan perilaku antisosial yang direpresentasikan oleh perilaku agresi. William (Dayakisni & Hudaniah, 2006) mengemukakan bahwa perilaku prososial merupakan perilaku yang memiliki intensi (kecenderungan) untuk mengubah keadaan fisik maupun psikologis penerima bantuan menjadi lebih baik. Eisenberg & Mussen (Dayakisni & Hudaniah, 2006) lebih lanjut mengemukakan bahwa pengertian perilaku prososial mencakup tindakan-tindakan seperti sharing (membagi), cooperative (kerjasama), donating (menyumbang), helping (menolong), honesty (kejujuran), generosity (kedermawanan), serta mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain.
Staub (Dayakisni & Hudaniah, 2006) mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang melandasi perilaku prososial, yaitu:
1. Self-gain (pencapaian diri)
Perilaku prososial individu dilandasi oleh asa untuk memperoleh sesuatu atau menghindari kehilangan sesuatu yang telah diperolehnya, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian, atau takut kehilangan sesuatu yang telah dimilikinya seperti popularitas, cinta, dan harga diri.
2. Personal values and norms (nilai dan norma pribadi)
Perilaku prososial individu sering dilatarbelakangi adanya nilai-nilai dan norma-norma sosial yang diinternalisasikan individu selama mengalami masa sosialisasi dan sebagian nilai-nilai serta norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, seperti kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik.
3. Empathy (empati)
Empati merupakan kemampuan individu untuk turut merasakan apa yang dirasakan atau dipikirkan oleh orang lain. Empati ini merupakan salah satu aspek yang melatarbelakangi individu melakukan tindakan prososial.
Pada kenyataannya, seseorang melakukan tindakan prososial tidak hanya dilatarbelakangi oleh satu faktor semata, melainkan gabungan dari beberapa faktor. Hal ini dimungkinkan karena manusia merupakan entitas psikologis yang memiliki beragam tendensi dalam melakukan sesuatu, sehingga sangat sulit untuk menyimpulkan bahwa yang melandasi dan memotivasi individu untuk melakukan sesuatu adalah faktor atau motivasi tunggal.
Selain perilaku sosial, dikenal adanya perilaku agresi, sebagai salah satu antitesa dari perilaku sosial. Baron (Dayakisni & Hudaniah, 2006) mengemukakan bahwa agresi merupakan tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan adanya tingkah laku tersebut. Definisi ini mencakup empat faktor tingkah laku, yaitu tujuan untuk melukai atau mencelakakan, individu yang menjadi pelaku, individu yang menjadi korban, dan ketidakinginan korban akan adanya tingkah laku tersebut.
Perilaku prososial dan perilaku antisosial (perilaku destruktif) pada remaja memiliki banyak determinan (faktor). Implikasinya, ada beberapa poin dimana intervensi dapat memperkuat kecenderungan perilaku prososial, misalnya pengayaan dukungan orang tua dan melalui variabel lain seperti kompetensi dan afiliasi kelompok (Muller, 2004).

Bibliografi:
Admin. 2008. “Dukungan Sosial” (Online). (http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15 /dukungan-sosial/, diakses 25 Pebruari 2009).

Dayakisni, T. & Hudaniah. 2006. Psikologi Sosial. Buku I. Malang: UMM Press

Farhati, F. & Rosyid, H. F. 1996. Karakteristik Pekerjaan, Dukungan Sosial, dan Tingkat Burn Out pada Human Service Corporation. Jurnal Psikologi XXIII (1):1-12.

Kartono, K. 1986. Patologi Sosial II: Karakteristik Remaja. Jakarta: Rajawali.

Kuntjoro, Z. S. 2002. “Dukungan Sosial pada Lansia” (Online). (http://www.e-psikologi.com_160802.htm, diakses 25 Pebruari 2009).

Muller, A. G. (Ed.). The Social Psychology of Good and Evil. New York: The Guilford Press.

Santrock, J. W. 2005. Psychology. Updated Seventh Edition. New York: McGraw Hill.

Wortman, Elizabeth, & Weaver, 1999. Psychology. New York: McGraw Hill.

teknik dan pemecahan masalah secara kreatif

By Djenar Siti

Ada satu adagium yang sangat terkenal dari seorang tokoh dunia dan masuk dalam kategori 100 orang paling berpengaruh di dunia, yaitu Albert Einstein. Ya, dialah penemu teori relativitas yang mengguncang dunia sains karena keberaniannya mengkritik dan menerobos kemapanan dunia sains yang telah dikembangkan secara massif oleh ilmuwan sebelumnya. Einstein mengemukakan bahwa “imagination is more important than knowledge”; imajinasi lebih penting dari pada pengetahuan. Imajinasi merupakan komposisi dasar dan paling utama dari konstruk yang disebut dengan kreatifitas. Kreatifitas lahir dari suatu imajinasi yang menembus batas pemikiran yang lazim.

Kreatifitas mulai mendapat perhatian kurang lebih menjelang paruh pertama abad XX atau tepatnya setelah perang dunia II. Di Indonesia, perhatian pada bidang ini juga tumbuh dengan pesat terutama sejak penelitian Munandar pada tahun 1977 yang menekankan pentingnya kreatifitas dikembangkan pada pendidikan formal serta pertama kalinya diciptakan tes kreatifitas di Indonesia; makin disadari perlunya langkah-langkah konkret untuk mengembangkan kreatifitas sejak dini (Mulyadi, dalam Rosalina, 2008).

Menurut hasil riset Torrance (Freeman& Munandar, dalam Rosalina, 2008) pada anak-anak di Amerika menunjukkan bahwa kreatifitas mencapai puncaknya antara usia 4 sampai 4,5 tahun. Berdasarkan hasil penelitiannya pada tahun 1962, Torrance menemukan bahwa pada anak-anak di Amerika terlihat kemampuan kreatifitasnya menurun satu tingkat skor saat ia berusia 5 tahun. Untuk itulah perlu diadakan upaya peningkatan kreatifitas pada anak sejak usia dini. Para ahli juga menegaskan bahwa kreatifitas mencapai puncaknya di usia antara 4 sampai 4,5 tahun. Anak prasekolah memiliki daya imajinasi yang amat kaya sedangkan imajinasi ini merupakan dasar dari semua jenis kegiatan kreatifitas. Mereka memiliki “kreatifitas alamiah” yang tampak dari perilaku seperti : sering bertanya, senang menjelajahi lingkungan, tertarik untuk mencoba segala sesuatu, dan memiliki daya imajinasi yang kuat.

Dalam kehidupan ini kreatifitas sangat penting, karena kreatifitas merupakan suatu kemampuan yang sangat berarti dalam proses kehidupan manusia. Kreatifitas manusia melahirkan pencipta besar yang mewarnai sejarah kehidupan umat manusia dengan karya-karya spektakulernya, seperti Thomas Alfa Edison (penemu bola lampu), Wrighst bersaudara (penemu pesawat terbang), Warren Buffet (Orang terkaya di dunia dan menjadi inspirator bagi pelaku pasar lain), Bill Gates (Owner Microsoft), JK Rolling (Author serial Harry Potter), dan sebagainya.

Kreatifitas agaknya menjadi suatu tren tersendiri dewasa ini, mengingat ranah kehidupan manusia terus mengalami dinamisasi yang signifikan sehingga membutuhkan kemampuan dan kecakapan hidup dalam mengarunginya. Jika tidak ingin tergerus oleh perkembangan zaman, maka seseorang dituntut untuk lebih kreatif dan mengelaborasi seluruh potensi dan kemampuan inherennya untuk melahirkan, paling tidak satu karya kecil, yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain.

Apresiasi terhadap kreatifitas agaknya menjadi satu keniscayaan tersendiri, khususnya bagi individu yang hidup di lingkungan yang penuh dengan tantangan inovasi dan kreasi untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda dari kebanyakan, sehingga dapat memberi manfaat pada yang bersangkutan. Apresiasi ini diejawantahkan dalam banyak bentuk, misalnya penyelenggaraan kursus-kursus keterampilan tertentu, kompetisi karya-karya kreatif semisal Djarum Black Innovation Award, dan masih banyak lagi. Apresiasi demikian didasarkan pada satu asumsi dasar bahwa hanya dengan kreatifitas-lah, hidup ini akan lebih baik dan membuat segalanya menjadi mudah; bahwa terjebak dalam konsep pemikiran yang kaku dan konservatif hanya menghasilkan kekakuan dan ketidakmanfaatan hidup, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Lebih jauh, kreatifitas ternyata sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan. Kebutuhan akan kreatifitas dalam penyelenggaraan pendidikan dewasa ini dirasakan merupakan kebutuhan yang mendesak bagi setiap anak. Dalam masa pembangunan dan era globalisasi yang penuh persaingan ini, setiap individu dituntut untuk mempersiapkan mentalnya agar mampu menghadapi tantangan-tantangan masa depan. Karena itu, pengembangan potensi kreatif yang pada dasarnya ada pada setiap manusia terlebih pada mereka yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa perlu dimulai sejak usia dini, baik itu untuk perwujudan diri secara pribadi maupun untuk kelangsungan dan kemajuan bangsa.

Kreativitas atau berpikir kreatif sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah merupakan bentuk pemikiran yang sampai saat ini kurang mendapat perhatian dalam pendidikan. Dalam kerangka inilah, gagasan tentang keniscayaan untuk menumbuhkembangkan kreatifitas dalam dunia pendidikan, khususnya kepada peserta didik muncul. Selain itu upaya menumbuhkembangkan kreatifitas juga didasarkan pada kenyataan bahwa konstruk dan konsep pendidikan yang selama ini diterapkan hanya berorientasi pada pengembangan otak kiri (logis-matematis) secara optimal dan cenderung mengabaikan pengembangan otak kanan (kreatifitas) sehingga peserta didik cenderung menjadi tidak kreatif dan terjebak pada pola pemikiran yang kaku.

Salah satu aspek dasar dari kreatifitas adalah pemecahan masalah secara kreatif. Pemecahan masalah secara kreatif pada dasarnya merupakan pemecahan masalah yang dilandasi oleh pemikiran kreatif, yaitu pemikiran yang melihat suatu masalah dari aspek lain atau aspek yang oleh orang lain sering dianggap sebagai sesuatu yang aneh atau tidak biasa (nyentrik). Karena itu, pemikiran kreatif sering diatributkan oleh sebagian orang sebagai pemikiran yang “nyeleneh”; suatu pemikiran yang berusaha keluar dari kotak pemikiran lazim yang membelenggu.

Pemecahan masalah secara kreatif dewasa ini sangat dibutuhkan, mengingat masalah yang dihadapi manusia sangat kompleks, tidak terkecuali anak-anak. Karena itu, pemecahan masalah secara kreatif perlu disosialisasikan dan dikembangkan secara massif, sehingga mindset anak-anak tidak lagi kaku, terutama dalam melihat dan memecahkan suatu masalah.

Berangkat dari pemaparan tersebut di atas, penulis coba mengurai lebih jauh pemecahan masalah secara kreatif. Uraian dalam makalah ini diaksentuasikan pada kreatifitas anak-anak, khususnya peserta didik, mulai dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah (SMP dan SMA).

A. Pengertian Pemecahan Masalah Secara Kreatif

Pemecahan masalah adalah formulasi jawaban baru, keluar dari aplikasi peraturan yang dipelajari sebelumnya untuk menciptakan solusi. Pemecahan masalah adalah apa yang terjadi ketika respon rutin dan otomatis tidak sesuai dengan kondisi yang ada (Woolfolk & Nicholich, 2004:320).

Santrock (2005:356) mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan upaya untuk menemukan cara yang tepat dalam mencapai tujuan ketika tujuan dimaksud belum tercapai (belum tersedia). Sementara itu, Davidoff (1988:379) mengemukakan bahwa pemecahan masalah adalah suatu usaha yang cukup keras yang melibatkan suatu tujuan dan hambatan-hambatannya. Seseorang yang menghadapi satu tujuan akan menghadapi persoalan dan dengan demikian dia akan terpacu untuk mencapai tujuan itu dengan menggunakan berbagai cara.

Hunsacker (Lasmahadi, 2005) mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu proses penghilangan perbedaan atau ketidak-sesuaian yang terjadi antara hasil yang diperoleh dan hasil yang diinginkan. Salah satu bagian dari proses pemecahan masalah adalah pengambilan keputusan (decision making), yang didefinisikan sebagai memilih solusi terbaik dari sejumlah alternatif yang tersedia. Pengambilan keputusan yang tidak tepat, akan mempengaruhi kualitas hasil dari pemecahan masalah yang dilakukan. Munandar (Rosalina, 2008) mengatakan bahwa kreatifitas merupakan kemampuan membuat kombinasi baru berdasarkan data informasi atau unsur-unsur yang ada.

Pemecahan masalah secara kreatif merupakan upaya pemecahan suatu masalah dengan menggunakan cara-cara yang kreatif dan revolusioner (mengkombinasikan berbagai teknik dan metode), sehingga hasilnya lebih signifikan. Cara-cara kreatif dimaksud merupakan cara atau metode yang baru dan komprehensif dan cenderung eksentrik. Metode demikian merupakan suatu penjabaran dari metode-metode yang telah ada sekaligus sebagai upgrading dari metode-metode yang telah ada.

Aplikasi metode pemecahan masalah secara kreatif lahir dari satu bentuk pemikiran (mindset) yang menerobos kleaziman paradigma tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah kreatif merupakan upaya pemecahan masalah dengan metode (cara) yang efektif dan komprehensif.

B. Teknik dan Pemecahan Masalah Secara Kreatif

Dalam proses berpikir kreatif untuk memecahkan suatu masalah, ada beberapa tahapan yang dilalui, yaitu (Admin, 2007):

1. Tahap Persiapan.

Dalam masa persiapan, seorang pemikir atau kreator memformulasikan masalahnya dan mengumpulkan semua fakta dan data yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Kadang-kadang meski telah lama berkonsentrasi lama, pemecahan masalah belum muncul juga ke dalam benaknya.

2. Tahap Inkubasi.

Jika pemikir kemudian mengalihkan perhatian dari persoalan yang sedang dihadapinya tersebut berarti ia telah memasuki tahap inkubasi. Pada tahap ini, ide-ide yang mencampuri dan mengganggu cenderung menghilang. Sementara itu, pemikir mendapat pengalaman baru. Pengalaman tersebut dapat menambah kunci bagi pemecahan masalah.

3. Tahap Iluminasi.

Pada periode ini, pemikir mengalami insight atau "Aha!". Seketika cara pemecahan masalah muncul dengan sendirinya

4. Tahap Evaluasi.

Evaluasi terjadi setelah muncul pemecahan masalah, tujuannya adalah untuk menilai apakah pemecahan masalah tersebut sudah tepat. Seringkali pemecahan masalah yang muncul tidak tepat, sehingga pemikir harus memulai lagi dari awal pentahapan.

5. Tahap Revisi.

Tahap ini ditempuh bila cara pemecahan masalah tersebut belum tepat atau mungkin masih memerlukan penyesuaian dan perbaikan-perbaikan pada beberapa aspek agar pemecahan masalah menjadi lebih tepat dan efektif.

Wessels (Woolfolk & Nicolich, 2004:321) mengemukakan bahwa dalam memecahkan masalah, ada empat langkah yang ditempuh, yaitu:

1. Memahami masalah

Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan memahami secara tepat masalah yang sedang dihadapi. Untuk memahami masalah, diperlukan representasi situasi akurat tentang masalah yang sedang dihadapi. Pada tahap ini, individu perlu melakukan diagnosis terhadap sebuah situasi, peristiwa atau kejadian, untuk memfokuskan perhatian pada masalah sebenarnya, bukan pada gejala-gejala yang muncul (Lasmahadi, 2005). Pada beberapa masalah, perlu digunakan diagram atau notasi tertentu (misalnya x, y, dan z) untuk mempermudah identifikasi dan pemahaman masalahnya (Kangguru, 2007).

2. Menyeleksi solusi

Setelah menentukan akar masalah yang sedang dihadapi, maka langkah selanjutnya adalah merencanakan strategi pemecahan yang akan dan mungkin dapat ditempuh. Copi (Woolfolk & Nicolich, 2004: 324) mengemukakan bahwa salah satu metode yang cukup tepat untuk diaplikasikan adalah pemikiran analitik (membuat alasan dengan analogi). Metode ini memberi batas pencarian solusi pada situasi yang memiliki beberapa kesamaan dengan dengan situasi yang sedang dihadapi.

3. Memutuskan rencana

Tahap ini ditandai dengan pemilihan dan pengaplikasian suatu rencana yang telah diseleksi dan dianalisis secara matang untuk memecahkan suatu masalah. Memutuskan rencana berarti individu telah mempertimbangkan semua kemungkinan dari masing-masing solusi yang ada dan memilih solusi yang dianggap terbaik dari sekian solusi yang ada.

4. Mengevaluasi hasil

Tahapan selanjutnya adalah mengevaluasi hasil yang telah dicapai. Tahap ini meliputi verifikasi fakta, baik yang menguatkan maupun yang melemahkan pilihan-pilihan yang ada.

Treffinger (Munandar, 1995:213) mengemukakan bahwa teknik kreatif dalam pemecahan masalah dikelompokkan dalam tiga tingkatan model belajar kreatif. Teknik pertama dimulai dengan memberikan pemanasan (warming up), kemudian dilanjutkan dengan teknik sumbang saran (brainstorming). Teknik kedua yaitu teknik synecitics dan futuristics. Sedangkan teknik ketiga adalah teknik pemecahan masalah (solve the problem) secara kreatif dengan metode Parnes dan metode Shallcross.

1. Teknik kreatif tingkat pertama

a. Pemanasan (warming up session)

Upaya pemecahan masalah secara kreatif membutuhkan langkah pendahuluan (pre-session) sebagai persiapan pada penetrasi lanjutan. Untuk menumbuhkan iklim atau suasana kreatif dalam kelas yang memungkinkan siswa untuk lebih tenang, merasakan kebebasan, serta adanya perasaan aman dalam mengungkap pikiran dan perasaannya, guru atau pendidik dianjurkan melakukan “pemanasan”, misalnya siswa yang sebelumnya dituntut untuk mengerjakan berbagai tugas yang terstruktur, maka siswa memerlukan switch (pengalihan) mental dari proses pemikiran reproduktif dan konvergen ke proses pemikiran divergen dan imajinatif (Munandar, 1995).

Gagasan untuk mengajak siswa untuk sejenak beralih ke masalah yang lebih imajinatif dan eksploratif merupakan suatu bentuk upaya eksklusif untuk menstimulasi kreatifitas siswa dalam menjawab suatu pertanyaan yang memberi kemungkinan banyak jawaban. Sasaran akhirnya adalah mencoba membuka cakrawala siswa dalam melihat suatu masalah; mengajak siswa melihat suatu hal atau masalah dari berbagai perspektif.

Pemanasan dapat dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan terbuka (opened questions) yang dapat membangkitkan minat dan rasa ingin tahu (curiosity) siswa. Cara lain yang dapat ditempuh adalah mengajukan pertanyaan terhadap suatu masalah, misalnya pertanyaan mengenai penyebab seringnya terjadi perkelahian antar siswa di sekolah (Munandar, 1995).

b. Sumbang saran (brainstorming)

Teknik sumbang saran merupakan teknik yang dikembangkan oleh Alex F. Osborn, yaitu suatu teknik yang untuk meningkatkan gagasan jika diajarkan dan diterapkan dengan tepat (Shallcross, dalam Munandar, 1995:214; Admin, 2007). Brainstorming merupakan teknik pemecahan masalah yang menghasilkan gagasan yang mencoba mengatasi segala hambatan dan kritik. Kegiatan tersebut mendorong timbulnya banyak gagasan, termasuk gagasan yang menyimpang, liar, dan berani, dengan harapan bahwa gagasan tersebut dapat menghasilkan gagasan yang baik dan kreatif. Teknik ini cenderung menghasilkan gagasan baru yang orisinal untuk menambah jumlah gagasan konvensional yang ada (Sulistiati, 2007).

Osborn (Munandar, 1995:214) menentukan empat aturan dasar dalam teknik sumbang sarang, yaitu:

1). Kritik tidak dibenarkan atau ditangguhkan

Asas pertama dari konsep berpikir divergen adalah meniadakan sensor untuk kurun waktu tertentu, karena hal tersebut dampak menghambat kelancaran proses asosiasi (Admin, 2007). Hal ini dimaksudkan pula untuk mencegah terhambatnya sintesis gagasan atau pemikiran yang muncul dari benak setiap individu yang melakukan sumbang saran. Selain itu, kritik yang diberikan terlalu cepat kepada setiap gagasan yang muncul dapat menghambat kreatifitas karena kesempatan bagi munculnya gagasan lain menjadi berkurang. Individu pun akan lebih selektif dalam mensintesis suatu gagasan, sehingga jumlah gagasan yang muncul menjadi berkurang.

2). Kebebasan dalam memberikan gagasan

Diperlukan iklim tertentu agar seseorang merasa bebas dan nyaman dalam mensintesis suatu gagasan. Apresiasi terhadap individu lain merupakan hal yang sangat penting, terutama ketika individu yang bersangkutan mengungkapkan suatu gagasan.

3). Gagasan sebanyak mungkin

Dalam konteks ini, dikenal asas (quantity breeds quality), yaitu semakin banyak gagasan yang dimunculkan, maka semakin besar kemungkinan adanya gagasan yang berkualitas dan efektif dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Munandar (Admin, 2007) mengemukakan bahwa gagasan yang baik biasanya muncul bukan pada saat-saat awal dalam tahap pemberian gagasan. Dengan demikian, ada kesempatan bagi pikiran kita untuk mengembara, mencari kemungkinan gagasan lebih jauh untuk memunculkan gagasan orisinal dan kreatif.

5). Kombinasi dan peningkatan gagasan

Dalam teknik sumbang saran gagasan yang muncul dari satu individu tidak jarang merupakan penjabaran atau pengembangan dari gagasan individu lainnya. Dengan demikian, teknik sumbang saran memberikan peluang yang lebih besar bagi munculnya gagasan-gagasan terbaik.

Teknik sumbang saran dilaksanakan dalam beberapa tahap, yaitu:

1. Pertama-tama, salah seorang dari anggota kelompok dipilih menjadi ketua kelompok yang bertugas mengemukakan atau memaparkan masalah, memimpin sidang, dan mengawasi bahwa semua anggota akan mendapat giliran untuk memberikan pendapatnya serta memastikan tidak adanya kritik.

2. Tahap selanjutnya adalah membagikan kepada anggota daftar sumbang saran yang telah diberikan oleh para anggota. Anggota diminta untuk menambahkan ide-ide baru jika masih ada atau saran-saran untuk implementasi solusi.

3. Daftar ide-ide yang telah dihasilkan kemudian dievaluasi (appraisal for ideas). Tahap evaluasi ini dapat dilakukan bersama-sama atau diserahkan pada beberapa anggota saja (Admin, 2007).

c. Pertanyaan yang memacu gagasan

Teknik ini dikenal dengan istilah daftar periksa (checklist) yang dikembangkan oleh Alex Osborn untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas gagasan. Pertanyaan-pertanyaan yang berupa kata kerja “manipulatif” akan membantu individu dalam mengembangkan gagasan kreatif melalui proses asosiasi dan memanipulasi informasi dan gagasan untuk menghasilkan ide yang orisinil (Munandar, 1995:217).

Daftar pertanyaan Osborn diarahkan kepada sembilan aspek yang ingin diketahui, yaitu (Shallcross, dalam Munandar, 1995:217):

1. Digunakan untuk hal-hal lain (put to other uses)

Misalnya: Apa yang dapat Anda lakukan dengan 100 roda dari sepatu roda?

2. Menyesuaikan (adapt)

Misalnya: Apa saja yang dapat digunakan sebagai tempat duduk?

3. Mengubah (modify)

Misalnya: Apa saja yang dapat Anda pikirkan agar pergi ke dokter gigi lebih menyenangkan?

4. Memperbesar (magnify)

Misalnya: Bagaimana bila ulang tahun dirayakan tiga kali dan tidak hanya sekali dalam setahun?

5. Memperkecil (minify)

Misalnya: Bagaimana jika seseorang hanya memiliki tinggi badan 30 cm?

6. Mengganti (substitute)

Misalnya: Apa yang terjadi jika sepeda dapat terbang di udara?

7. Menyusun kembali (rearrange)

Misalnya: Bagaimana jika Anda belajar di sekolah pada malam hari dan tidur di siang hari?

8. Membalik (reverse)

Misalnya: Bagaimana rasanya jika menulis kata-kata dalam bahasa Indonesia dari kanan ke kiri?

9. Menggabung (combine)

Misalnya: Penemuan apa yang dapat Anda hasilkan dengan menggabung mobil, kulkas, dan sepeda motor?

2. Teknik kreatif tingkat kedua

a. Synectics (sinektik)

Teknik sinektik dikembangkan oleh Willian J. J. Gordon dan merupakan teknik yang menggunakan analogi dan metafora (kiasan) untuk membantu individu menganalisis masalah dan melihat suatu masalah dari berbagai perspektif (Feldhusen & Treffinger, dalam Munandar, 1995:219; Sulistiyati, 2007). Sinektik dimaksudkan untuk menghentikan kebiasaan lama serta gagasan usang dan untuk memperkenalkan suasana rileks ke dalam proses penggalian ide. Proses sinektik mencoba membuat sesuatu yang “asing” menjadi “akrab”, begitupun sebaliknya (Sulistiyati, 2007).

Ada tiga jenis analogi yang diaplikasikan dalam sinektik, yaitu analogi fantasi, analogi langsung, dan analogi pribadi. Analogi yang lazim digunakan adalah analogi fantasi, yaitu analogi yang memungkinkan individu mencari pemecahan (solusi) yang ideal terhadap suatu masalah meskipun sepintas solusi tersebut terlihat aneh dan melanggar kelaziman. Analogi langsung merupakan bentuk analogi antara satu masalah dengan masalah lain yang linier dalam kehidupan nyata. Analogi pribadi merupakan bentuk analogi yang menuntut individu untuk menempatkan dirinya (memainkan peran) dalam masalah yang sedang dihadapi (Munandar, 1995).

Teknik sinektik merupakan cara yang menyenangkan dan efektif untuk melibatkan siswa dalam diskusi yang elaboratif dan imajinatif yang menghasilkan pemecahan masalah yang tidak lazim namun aplikatif. Setiap topik dari permasalahan dapat dibahas dalam diskusi kelompok kecil maupun kelompok besar. Melalui sinektik, siswa dapat belajar strategi yang bermakna untuk memecahkan masalah (Munandar, 1995).

b. Futuristics

Futuristics (futuristik) merupakan teknik kreatif yang membantu individu (siswa) meningkatkan dan mengaplikasikan segenap potensi dan kemampuannya untuk mencipta masa depan (Munandar, 1995:221). Toffler (Munandar, 1995:221) mengemukakan bahwa siswa perlu dibantu dalam mengasosiasikan perubahan yang akan terjadi di dunia dengan perubahan dalam kehidupan mereka sendiri. Toffler menemukan bahwa siswa sekolah menengah dengan segera dapat menemukenali berbagai perubahan yang akan terjadi di masa depan (forecast). Akan tetapi, bila siswa-siswa tersebut diminta mendaftar tujuh peristiwa yang mungkin terjadi pada mereka di masa depan, jawaban yang diberikan tidak menunjukkan indikasi kehidupan yang berubah. Lebih lanjut, Toffler melaporkan adanya kesenjangan antara pengamatan siswa tentang perubahan cepat di dalam lingkungan dan pemahaman bahwa perubahan tersebut berdampak secara signifikan terhadap kehidupan pribadi mereka.

Pendekatan dalam menggunakan futuristik dengan siswa berbakat agak berbeda dari yang digunakan kebanyakan guru di dalam kelas biasa. Dalam mengajar futuristik, dipandang suatu falsafah mengajar yang futuristik, yaitu pengajaran yang tidak hanya berorientasi kekinian, tetapi juga beorientasi masa depan. Falsafah demikian dimaksudkan untuk meningkatkan pembelajaran pada semua mata pelajaran maupun segala bidang dalam kehidupan sehari-hari (Munandar, 1995:221). Sisk (Munandar, 1995:221) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk menggambarkan proses penyerapan unsur pembelajaran futuristik secara menyeluruh adalah dengan membayangkan “garis waktu”. Garis waktu berfungsi untuk menemukenali asosiasi antara informasi masa lalu, masa kini, dan masa akan datang.

Munandar (2000:222) mengemukakan bahwa tujuan khusus pengajaran dengan filosofi futuristik adalah:

1). Memberikan siswa paradigma (cara pikir dan cara pandang) tentang masa depan yang lebih komprehensif.

2). Membekali siswa dengan keterampilan dan konsep yang perlu untuk memahami kompleksitas berbagai sistem.

3). Membantu siswa dalam menemukenali dan memahami secara massif masalah-masalah utama yang muncul di masa yang akan datang.

4). Membantu siswa memahami perubahan dan bagaimana menghadapinya.

Lebih lanjut, Munandar (2000:223) mengemukakan bahwa ada beberapa keterampilan yang dapat digunakan pada teknik futuristik, yaitu:

1). Menulis senario

Menulis senario merupakan salah satu cara merangsang potensi dan kemampuan siswa berbakat dalam berpikir dan menganalisis melalui suatu pengantar senario.

2). Roda masa depan (future wheels)

Future wheels dikembangkan oleh Jerry Glenn, yaitu mengidentifikasi suatu kecenderungan yang ada dan/atau yang akan timbul dan menempatkan kecenderungan tersebut di pusat kemudian mengidentifikasi hubungan sebab akibat dari kecenderung-kecenderungan tersebut.

3). Trending (prediksi)

Trending merupakan upaya melihat kecenderungan-kecenderungan yang mungkin terjadi; sebagai kelanjutan atau pengembangan dari teknik roda masa depan (future wheels). Trending menggunakan pertanyaan-pertanyaan berikut:

a). Bilamana kecenderungan itu mulai nampak?

b). Terhadap siapa kecenderungan ini mempunyai dampak positif?

c). Terhadap siapa kecenderungan ini mempunyai dampak negatif?

d). Apakah kecenderungan ini berinteraksi dengan kecenderungan lainnya? Jika ya, kecenderungan mana?

e). Jika kita ingin meningkatkan kecenderungan tersebut, bagaimana melakukannya?

f). Jika kita ingin memperlambat atau menghentikan kecenderungan tersebut, bagaimana melakukannya?

  1. Teknik kreatif tingkat ketiga

a. Pemecahan masalah secara kreatif

Pemecahan masalah secara kreatif (Creative Problem Solving Processes) dikembangkan oleh Parnes, Presiden dari Creative Problem Solving Foundation (CPS). Proses ini mencakup lima tahapan, yaitu menemukan fakta, menemukan masalah, menemukan gagasan, menemukan solusi, dan menemukan penerimaan (Munandar, 1995:225).

1). Tahap menemukan fakta

Tahap menemukan fakta merupakan tahap mendaftar semua fakta yang diketahui mengenai masalah yang ingin dipecahkan dan menemukan data baru yang diperlukan.

2). Tahap menemukan masalah

Tahapan ini merupakan tahap dimana individu merumuskan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan simplistik tertentu, misalnya “Dengan cara apa saya harus mengatasinya?”. Dengan demikian, individu dapat mengembangkan masalahnya dengan mengidentifikasi sub-sub masalah, sehingga masalah dapat dirumuskan kembali.

3). Tahap menemukan gagasan

Tahap dimana individu berupaya mengembangkan gagasan pemecah masalah sebanyak mungkin.

4). Tahap menemukan solusi

Gagasan yang dihasilkan pada tahap sebelumnya diseleksi berdasar kriteria evaluasi yang berpautan dengan masalah yang dihadapi. Masing-masing gagasan dinilai berdasar kriteria yang telah ditentunkan.

5). Tahap menemukan penerimaan

Menyusun rencana tindakan agar pihak yang mengambil keputusan dapat menerima gagasan tersebut dan melaksanakannya (Munandar, 1995:225). Dalam upaya menerapkan berbagai solusi terhadap suatu masalah, seseorang perlu lebih sensitif terhadap kemungkinan terjadinya resistensi dari orang-orang yang mungkin terkena dampak dari penerapan tersebut. Hampir pada semua perubahan, terjadi resistensi, karena itulah seorang yang piawai dalam melakukan pemecahan masalah akan secara hati-hati memilih strategi yang akan meningkatkan kemungkinan penerimaan terhadap solusi pemecahan masalah oleh orang-orang yang terkena dampak dan kemungkinan penerapan sepenuhnya dari solusi yang bersangkutan (Whetten & Cameron, dalam Lasmahadi, 2005)

b. Proses lima tahap (Shallcross)

Shallcross (Munandar, 1995:228) membedakan antara primary creativity dan secondary process of creativity. Kreatifitas primer adalah proses pemecahan masalah secara alamiah oleh pikiran individu karena individu tersebut tidak menyadari terjadinya suatu proses dalam dirinya, sedangkan pada kreatifitas sekunder ada peningkatan kesadaran dalam pemecahan masalah yang berlangsung dengan tahapan-tahapan tertentu secara gradual.

Tahapan pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Shallcross meliputi (Munandar, 1995:228):

1). Tahap orientasi

Pada tahap orientasi, masalah dirumuskan ke dalam proposisi tertentu yang lebih komprehensif. Masalah dijabarkan dengan menulis suatu paragraf yang melukiskan bagaimana pikiran dan perasaan seseorang mengenai permasalahan tersebut.

2). Tahap persiapan

Pada tahap ini, individu menghimpun semua fakta yang sudah diketahui mengenai masalahnya dan menanyakan semua fakta yang belum diketahui. Fakta yang dihimpun berupa semua informasi faktual yang sudah diperoleh dan masih perlu untuk diperoleh. Fakta tersebut dihimpun berdasar pertanyaan yang runut mengenai masalah yang sedang dihadapi.

3). Tahap penggagasan

Pada tahap ini, individu menerapkan konsep berpikir divergen untuk menghasilkan gagasan-gagasan sementara dalam rangka pemecahan masalah.

4). Tahap penilaian

Pada tahap ini digunakan konsep berpikir konvergen, yaitu memverifikasi dan menyeleksi gagasan-gagasan terbaik untuk diaplikasikan. Dalam tahap ini, setiap gagasan harus dipertimbangkan secara objektif mengenai kelebihan dan kekurangan serta kelayakannya masing-masing.

5). Tahap pelaksanaan

Solusi yang telah ditetapkan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan sebelumnya. Pelaksanaan disini dapat lebih fleksibel, tergantung pada resistensi dan akseptabilitasnya terhadap masalah yang dihadapi.



bibliografi

Admin. 2007. “Berpikir dan Pemecahan Masalah” (Online). (http://www. elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/psikologi_umum_1/Bab_7.pdf., diakses 22 Pebruari 2009).

Davidoff, L. 1988. Psikologi: Suatu Pengantar. Jilid I. Alih Bahasa oleh Mari Juniati. Jakarta: Erlangga.

Kangguru. 2007. “Penyelesaian Masalah Ala G. Polya” (Online). (http:// www. kangguru.wordpress.com/2007/02/01/teknik-pemecahan-masalah-ala-g-polya/, diakses 22 Pebruari 2009).

Lasmahadi, A. 2005. “Pemecahan Masalah Secara Analitis dan Kreatif (Bag 1)” (Online). (http://www.e-psikologi.com/epsi/industri_detail.asp?id=138, diakses 22 Pebruari 2009).

Munandar, U. 1995. Dasar-dasar Pengembangan Kreatifitas Anak berbakat. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Rosalina, D. 2008. “Efektivitas permainan konstruktif terhadap Peningkatan kreatifitas anak Usia prasekolah (skripsi)” (Online). (http://www. etd.eprints.ums.ac. id/852/1/F100020186.pdf., diakses 22 Pebruari 2009 )

Santrock, J. W. 2005. Psychology. Updated Seventh Edition. New York: McGraw Hill.

Sulistiyati, E. 2007. “Bagaimana Memunculkan Gagasan Kreatif?” (Online). (http://www.abroor.bravehost.com/tips.html, diakses 22 Pebruari 2009)

25

Woolfolk, A. E., & Nicolich, L. M. 2004. Mengembangkan Kepribadian dan Kecerdasan Anak-anak (Psikologi Pembelajaran I). Alih bahasa oleh M. Khairul Anam. Jakarta: Inisiasi Press.