undeachiever dan konsep keberbakatan
A. Definisi Underachiever
Ramadhan (2008) mengemukakan bahwa underachiever adalah anak (siswa) berprestasi rendah dibandingkan tingkat kecerdasan yang dimilikinya. Sementara itu, Prayitno dan Amti (Ramadhan, 2008) menyebutkan bahwa underachiever identik dengan keterlambatan akademik yang berarti bahwa keadaan siswa yang diperkirakan memiliki tingkat intelegensi yang cukup tinggi, tetapi tidak dapat memanfaatkannya secara optimal, sehingga prestasi akademik yang diraih di bawah kemampuan yang dimilikinya.
Underachiever adalah anak dan khsusunya siswa yang gagal meraih prestasi sesuai dengan potensi yang dimilikinya serta apa yang diharapkan oleh orang-orang di sekitarnya (Admin, 2007). Reis & McMoach (Tarmidi, 2008) mengemukakan bahwa underachievement merupakan kesenjangan akut antara potensi prestasi (expected achievement) dan prestasi yang diraih (actual achievement). Robinson (Tarmidi, 2008) mengemukakan bahwa untuk dapat diklasifikasikan sebagai underachiever, kesenjangan antara potensi dan prestasi tersebut bukan merupakan hasil diagnosa kesulitan belajar (learning disability) dan terjadi secara menetap pada anak (siswa) dalam periode yang panjang.
Runikasari (2009) menyebutkan bahwa underachiever merupakan anak atau siswa yang memilki potensi tinggi tetapi prestasi yang mereka tampilkan berada dibawah potensi yang dimiliki. Secara operasional, underachievement dapat didefinisikan sebagai kesenjangan antara skor tes inteligensi dan hasil yang diperoleh siswa di sekolah (Peters & VanBoxtel, dalam Tarmidi, 2008).
Anak underachiever merupakan anak yang pada dasarnya memiliki potensi yang tinggi untuk meraih prestasi gemilang (anak cerdas). Anak cerdas cenderung menjadi anak yang nakal jika berada di kelas yang dianggapnya tidak memberikan tantangan. Dia akan mempunyai banyak waktu untuk memikirkan hal-hal lain yang tidak berhubungan dengan pelajaran untuk menghilangkan perasaan bosan yang dialami di dalam kelas (Redaksi, 2008).
B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Anak Tergolong Underachiever
Prestasi belajar rendah yang dialami anak underachiever tidak disebabkan oleh adanya hambatan dalam menguasai pelajaran yang diberikan dalam proses belajar mengajar di kelas. Menurut Gustian (Ramadhan, 2008), underachiever dapat disebabkan oleh oleh faktor lingkungan, baik lingkungan luar rumah (lingkungan sekolah), lingkungan rumah, maupun dari individu itu sendiri. Masing-masing faktor tersebut atau secara bersamaan dapat menyebabkan anak menjadi underachiever. Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab underachiever, orang tua dapat melakukan tindakan-tindakan untuk menangani anak yang mengalami underachiever.
Butler-Por (Tarmidi, 2008) menyatakan bahwa underachievement bukan disebabkan karena ketidakmampuan anak untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik, tetapi lebih disebabkan karena pilihan-pilihan yang dilakukan anak, baik secara sadar maupun tidak sadar. Pernyataan tersebut dijelaskan oleh penelitian McClelland, Yewchuk, dan Mulcahy (Tarmidi, 2008) yang menyatakan bahwa ada dua set utama yang mempengaruhi performa underachiever, yaitu (a) faktor emosi dan motivasi, dan (b) faktor yang berhubungan dengan strategi belajar. McClelland dan rekannya percaya bahwa ketika faktor-faktor pada kedua set tersebut berkombinasi dan saling berinteraksi maka faktor tersebut dapat menjadi konsekuensi yang paling kuat untuk mencegah siswa menjadi underachiever.
1. Faktor lingkungan sekolah
Sekolah merupakan faktor yang sangat berperan yang menyebabkan anak menjadi underachiever. Metode pengajaran, kuantitas dan kualitas materi pelajaran yang diberikan, dan parameter-parameter keberhasilan dan kemampuan guru dapat menjadi penyebab anak mengalami underachiever (Ramadhan, 2008).
Edy Gustian (Redaksi, 2008) mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor yang sangat berperan dalam menyebabkan terjadinya underachiever. Faktor tersebut mencakup cara pengajaran, materi-materi yang diberikan, ukuran-ukuran keberhasilan dan kemampuan guru dalam mengelola proses belajar mengajar di kelas. Sebagai contoh, Edy mengemukakan fakta yang terjadi pada Albert Einstein. Menurutnya, saat di sekolah dasar, nilai-nilai pelajaran Einstein sangat buruk, sehingga dia disebut sebagai anak bodoh oleh guru dan teman-temannya. Salah satu penyebab prestasi Einstein sangat buruk di sekolahnya adalah karena Einstein harus mengulang hal-hal yang sudah diketahuinya yang menurutnya tidak bermanfaat. Einstein baru berhasil menangani masalahnya dengan bantuan pamannya.
Dapat dibayangkan kerugian seperti apa yang dialami oleh dunia jika Einstein tidak dapat mengatasi permasalahannya di sekolah. Hal yang perlu diperhatikan mengenai kasus tersebut adalah Albert Einstein berhasil mengatasi permasalahannya dengan bantuan orang lain, pamannya, bukan karena dia mampu mengatasi sendiri permasalahan tersebut (Ramadhan, 2008).
Runikasari (2009) mengemukakan bahwa faktor-faktor di lingkungan sekolah yang menyebabkan anak menjadi underachiever antara lain:
a. Anak bersekolah di sekolah yang memiliki standar tinggi dalam hal prestasi akademik peserta didik, sehingga membuat kepercayaan diri anak menjadi turun karena yang bersangkutan jarang memiliki pengalaman berhasil dalam kehidupan akademiknya.
b. Perlakuan guru, baik di kelas maupun di luar kelas dapat menjadi salah satu penyebab anak menjadi underachiever. Guru yang cenderung memiliki ekspektasi tinggi, bertindak otoriter atau kurang memberi penghargaan bagi siswa dapat menjadi salah satu pemicu anak menjadi underachiever.
c. Kesalahan anak dalam memilih teman dapat menyebabkan anak tersebut menjadi underachiever. Pada usia remaja, teman menjadi segalanya bagi mereka dan pada saat ini pula mereka sangat sulit menolak pengaruh dari teman. Berdasar hal tersebut, maka anak memegang prinsip dari pada ditinggalkan teman, mereka lebih baik mengabaikan kegiatan belajar yang berimplikasi pada penurunan prestasi akademiknya.
2. Faktor keluarga
Selain sekolah, lingkungan rumah juga dapat menyebabkan anak menjadi underachiever. Bagaimana orang-orang terdekat memperlakukan anak akan mempengaruhi pencapaian anak dalam berprestasi. Keluarga adalah faktor terpenting yang dapat menyebabkan anak mengalami underachiever. Misalnya: kurangnya perhatian, dukungan, dan kesiapan orang tua untuk membantu anaknya dalam belajar di rumah serta mengatasi masalah-masalah akademik yang dihadapinya. Ekspektasi orang tua yang terlampau tinggi terhadap anaknya dapat berdampak pada munculnya pertentangan pendapat antara orang tua dengan anak. Selain itu, orang tua terkadang kurang menghargai prestasi belajar yang telah dicapai oleh anak. Sikap orang tua yang demikian kurang memacu anak untuk belajar lebih giat. Anak merasa prestasi belajar yang telah dicapai kurang dihargai dan anak juga akan merasa dirinya tidak mampu berprestasi dalam belajar. Keretakan hubungan antara orang tua (ayah dan ibu) sering menimbulkan percekcokan dalam rumah tangga yang pada akhirnya menjurus pada perceraian. Kondisi demikian dapat menyebabkan anak kurang berkonsentrasi dalam belajar. Anak akan mengalami underachiever juga terjadi jika suasana rumah gaduh dan tidak kondusif untuk belajar (Ramadhan, 2008).
Runikasari (2009) menyebutkan beberapa hal yang dapat menyebabkan anak menjadi underachiever adalah:
a. Situasi keluarga yang tidak stabil, misalnya si anak mengetahui bahwa ayahnya selingkuh sehingga hubungan kedua orangtuanya sudah tidak harmonis.
b. Anak kurang mendapat kesempatan dalam pengayaan sosial dan pendidikan keluarga.
c. Dominasi Ayah dalam keluarga sehingga penghargaan terhadap anak sangat kurang dan seringnya Ayah memberi hukuman berat kepada anak ketika melakukan kesalahan.
d. Orangtua tidak realistis dalam menetapkan target dan memaksakan nilai-nilai tertentu terhadap anak-anaknya, misalnya anak merasa sudah belajar seharian tetap dianggap belum belajar kalau di rumah dia hanya membaca komik.
e. Orangtua tidak pernah atau jarang memberi penghargaan atas prestasi yang diraih anaknya.
f. Orangtua jarang berbagi ide, kepercayaan, kasih sayang dan kesepakatan dengan anaknya.
3. Faktor internal
Selain faktor eksternal, faktor internal (faktor dalam diri anak) juga berpengaruh terhadap anak yang underachiever. Butler-Por (Tarmidi, 2008) mengemukakan beberapa hal dari dalam diri anak yang menyebabkan anak tersebut menjadi underachiever, yaitu:
a. Anak tidak menyadari potensi yang dimilikinya, sehingga mereka kurang memahami dirinya dan orang lain.
b. Mempunyai harapan/target yang terlalu rendah, sehingga membuat anak tidak mempunyai tujuan dan nilai yang jelas.
c. Mempunyai self-esteem yang rendah dan menjadi peka terhadap penilaian orang lain.
Ramadhan (2008) mengemukakan beberapa hal dalam diri anak yang dapat menyebabkan anak tersebut menjadi underachiever, yaitu:
a. Persepsi diri
Tidak tercapainya prestasi sekolah yang baik juga sangat ditentukan oleh karakteristik anak. Salah satunya adalah penilaian anak terhadap kemampuan yang dimilikinya. Penilaian anak terhadap kemampuannya berpengaruh banyak terhadap pencapaian prestasi sekolah. Anak yang merasa dirinya mampu akan berusaha untuk mendapatkan prestasi sekolah yang baik sesuai dengan penilaian dirinya terhadap kemampuan yang dimilikinya. Sebaliknya, anak yang menilai dirinya sebagai anak yang tidak mampu atau anak yang bodoh akan menganggap nilai-nilai kurang yang didapatkannya sebagai hal yang sepatutnya dia dapatkan. Hal tersebut kemudian berimplikasi pada tidak termotivasinya anak untuk meraih prestasi yang lebih tinggi sesuai dengan potensi yang dimiliki.
b. Hasrat berprestasi
Faktor lain dalam diri anak yang menentukan prestasi yang akan dicapainya adalah faktor keinginan untuk berprestasi (need for achievement). Anak yang memiliki dorongan kuat dari dalam dirinya untuk berprestasi akan selalu berusaha meraih prestasi tertinggi dan pantang menyerah terhadap masalah yang dihadapi. Keinginan untuk berprestasi adalah hasil dari pengalaman-pengalaman anak dalam mengerjakan sesuatu. Anak yang sering gagal dalam mengerjakan sesuatu akan mengalami frustasi dan tidak mengharapkan hasil yang baik dan tindakan-tindakan yang dilakukaknnya.
c. Locus of control
Bagaimana anak menilai penyebab prestasi yang dimilikinya dapat menyebabkan tercapainya preatsi yang tinggi. Anak dapat menilai bahwa penyebab terjadinya prestasi tersebut karena faktor usaha yang dilakukannya atau karena faktor-faktor di luar yang tidak dapat dikontrolnya. Anak yang menilai bahwa penyebab terjadinya prestasi karena faktor usaha yang dilakukannya berarti anak tersebut memiliki lokus kontrol (locus of control) internal, dan sebaliknya anak disebut memiliki lokus kontrol eksternal jika penyebab prestasi belajarnya karena pengaruh dari orang lain. Anak yang memiliki lokus kontrol internal akan menilai bahwa angka 4 yang didapatnya dalam pelajaran matematika adalah karena ia kurang belajar, sedangkan mereka yang memiliki lokus kontrol eksternal akan mengatakan karena guru yang sentimen pada dirinya.
d. Pola dan strategi belajar
Pola dan strategi belajar anak sangat mempengaruhi pencapaian prestasi anak. Ada anak yang terbiasa belajar secara teratur walaupun besok harinya tidak ada tes atau ujian tetapi ada pula anak yang hanya belajar jika ada ujian. McClelland, Yewchuk dan Mulcahy (Tarmidi, 2008) mengemukakan beberpa hal dalam strategi belajar yang menyebabkan anak menjadi underachiever, yaitu:
1). Tidak dapat menampilkan performa yang baik dalam situasi tes
2). Mengumpulkan tugas yang belum selesai atau yang dikerjakan dengan tidak sepenuh hati
3). Tidak mau mencoba hal-hal baru
4). Mempunyai kecenderungan perfeksionis dan self-critism
5). Tidak menyukai kegiatan yang membutuhkan latihan teratur, mengingat dan yang membutuhkan penguasaan keahlian tertentu
6). Sulit untuk memberikan atensi dan berkonsentrasi dalam tugas.
C. Karakteristik Anak Underachiever
Saefurohman (2008) mengemukakan bahwa untuk mengenali siswa underachiever ada beberapa karakteristik yang dapat kita pahami, yaitu:
1. Karakteristik utama (primer)
Karakteristik utama yang dihubungkan dengan anak underachiever adalah rendahnya self-esteem (penghargaan terhadap diri) anak tersebut (Preckle & Vock, 2006; Trevallion, 2008, dalam Tarmidi, 2008). Pernyataan tersebut juga dipertegas oleh Butler-Por & Kratzer (Saefurohman, 2008) yang menyatakan bahwa salah satu karakteristik kepribadian siswa underachiever adalah rendahnya konsep diri (konsep penghargaan terhadap diri sendiri). Siswa biasanya menutupi hal tersebut dengan mengembangkan mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) seperti bertindak agresif atau membuat keributan dan lelucon di kelas (berkelakar).
2. Karakteristik sekunder
Karakteristik sekunder berhubungan dengan kecenderungan anak memperlihatkan perilaku menghindar (avoidance behavior). Mereka sering mengatakan bahwa pelajaran di sekolah tidak relevan atau tidak penting karena itu mereka biasanya lebih tertarik kegiatan selain kegiatan sekolah. Kaufman (Saefurohman, 2008) menyatakan bahwa karakteristik menghindar pada anak underachiever diwujudkan dalam dua arah yaitu agresi atau menghindar. Mereka juga akan memperlihatkan ketergantungan seperti tergantung pada orang lain untuk menyelesaikan tugasnya.
3. Karakteristik tersier
Karakteristik tersier siswa underachiever antara lain buruknya kemampuan anak dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah, kebiasaan belajar yang buruk, memiliki masalah penerimaan oleh teman sebaya, konsentrasi yang buruk dalam aktivitas sekolah, tidak dapat mengatur diri baik di rumah maupun di sekolah, mudah bosan, meninggalkan atau mengabaikan kegiatan kelas, memiliki kemampuan berbahasa oral yang baik tetapi buruk dalam menulis, mudah terdistraksi dan tidak sabar, sibuk dengan pikirannya sendiri, kurang jujur, sering mengkritik diri sendiri, mempunyai hubungan pertemanan yang kurang baik, suka bercanda di kelas (membuat keributan), ramah terhadap orang yang lebih tua, dan berperilaku yang tidak biasa.
D. Konsep Diri Akademik
ReisDel Siegle & McCoah (Tarmidi, 2008) mengemukakan bahwa underachievement terjadi karena kegagalan individu untuk merealisasikan diri, karenanya underachievement dapat dilihat sebagai dampak dari perkembangan emosi yang berinteraksi dengan status kognisi yang mengarahkan ke keadaan underachievement. Salah satu faktor yang sering muncul pada siswa underachiever adalah rendahnya self-image dan buruknya self-esteem (Clark, 1992; Davis & Rimm, dalam Tarmidi, 2008). Konsep diri yang positif terbentuk dari prestasi belajar yang diraih anak (Gallager, dalam Tarmidi, 2008). Hasil tinjauan literatur yang dilakukan Lau dan Chan (Tarmidi, 2008) juga menunjukkan hal yang sama, bahwa dari berbagai karakteristik siswa underachiever yang diajukan oleh berbagai peneliti, temuan yang paling konsisten adalah rendahnya konsep diri atau self-esteem mereka, terutama pada area konsep diri akademik.
Dalam konteks demikian, hubungan konsep diri akademik dengan kecenderungan underachievement bersifat resiprokal (Bynre, 1984; Marsh & Yeung, 1997 dalam Tarmidi, 2008). Anak yang underachiever tidak percaya bahwa dirinya mempunyai kemampuan untuk berprestasi, karena itu mereka tidak berusaha keras untuk belajar dan mudah menyerah ketika menghadapi kegagalan. Kegagalan dalam bidang akademik akan membuat anak tidak percaya diri dalam belajar sehingga mereka kehilangan konsep dirinya. Hubungan yang negatif antara konsep diri akademik dengan prestasi menjadi lingkaran yang membuat pola underachievement sulit diputus.
E. Konsep Teoretis Penanganan Underachiever
Model trifokal yang diajukan Rim (Saefurohman, 2008; Tarmidi, 2008) adalah salah satu pendekatan yang paling komprehensif untuk mengatasi siswa yang underachiever. Bakers, Bridger & Evans (Tarmidi, 2008) mengemukakan bahwa aplikasi model ini melibatkan individu sendiri (anak underachiever), lingkungan rumah, dan sekolah. Masing-masing pihak yang terlibat tersebut diikutsertakan dalam program trifokal ini, sehingga setiap orang yang diperkirakan berkontribusi terhadap masalah underachiever dapat menyelesaikan masalah anak dengan lebih komprehensif. Agar dapat mengatasi siswa underachiever dengan tepat, maka diperlukan intervensi yang berbeda pada setiap kasus karena menurut Hansford (Tarmidi, 2004) underachievement sangat spesifik pada masing-masing anak.
Gallagher (Tarmidi, 2008) menyatakan bahwa underachievement adalah pola perilaku yang dipelajari dan dapat diubah melalui upaya-upaya tertentu. Coyle (Tarmidi, 2008) menyatakan bahwa untuk meningkatkan prestasi anak underachiever dapat dilakukan dengan membangun self-esteem, meningkatkan konsep diri, meningkatkan motivasi intrinsik dan ekstrinsik, mengajari cara belajar (study skills), manajemen waktu dan mengatasi kekurangannya dalam hal akademik. Pringle (Tarmidi, 2008) juga menyatakan hal yang sama, bahwa untuk mengatasi siswa underachiever dapat dilakukan oleh guru dengan meningkatkan konsep diri dan moral siswa, memberikan dukungan, memberikan kesempatan untuk mengerjakan sesuatu dengan bebas, ataupun membuat suasana belajar yang menyenangkan. Jika guru bersikap negatif terhadap siswa underachiever atau kurang memperhatikan mereka, akan berakibat makin menguatnya pola underachievement pada siswa tersebut.
BIBLIOGRAFI
Admin. 2007. “Underachiever” (Online). (http://en.wikipedia.org/wiki/Underachie ver, diakses 12 Juni 2009).
Ramadhan, T. 2008. “Underachiever” (Online). (http://tarmizi.wordpress.com/ 2008/11/19/underachiever/, diakses 12 Juni 2009).
Redaksi. 2008. “Anak Cerdas , Mengapa Prestasi Di Sekolah Rendah” (Online). (http://minmalangsatu.net/detail-artikel-128/ANAK_CERDAS___MENGAPA _PRESTASI_DI_SEKOLAH_RENDAH.html, diakses 12 Juni 2009).
Runikasari, S. 2009. “Memotivasi Remaja Underachiever” (Online). (http://www.lptui.com/artikel.php?fl3nc=1¶m=c3VpZD0wMDAyMDAwMDAwNzcmZmlkQ29udGFpbmVyPTY2&cmd=articleDetail, diakses 12 Juni 2009).
Saefurohman, U. 2008. “Memahami Siswa Underachiever” (Online). (http://sd.binamuda.net/index.php?option=com_content&view=article&id=49:memahami-siswa-underachiever&catid=37:artikel&Itemid=18, diakses 12 Juni 2009).
Tarmidi, 2008. “Konsep Diri Siswa Underachiever” (Online). (http://tarmidi. wordpress.com/2008/05/27/konsep-diri-siswa-underachiever/, diakses 12 Juni 2009).
No Comment
Post a Comment