akad (perikatan) dalam hukum perdata
Akad atau perikatan dalam ekonomi syariah tidak dapat dilepaskan dari konteks hukum perdata yang berlaku di Indonesia. Perikatan pada dasarnya terdiri atas dua, yaitu perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang.
Perikatan merupakan kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan tersebut. Setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan yang secara sengaja dibuat oleh para pihak, juga karena ditentukan lain oleh perundang-undangan yang berlaku. Ada beberapa unsur yang termuat dalam perikatan, yaitu:
a. Perikatan merupakan suatu hubungan hukum;
b. Hubungan hukum tersebut melibatkan dua orang (pihak) atau lebih;
c. Hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan;
d. Hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam perikatan.
Perikatan dan perjanjian menunjuk pada dua hal yang berbeda. Perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang menunjuk pada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua pihak atau lebih, dimana hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut. Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) pasal 1233 yang menyatakan bahwa:
“Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang”.
Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan rumusan ketentuan pasal 1313 KUHPdt yang menyatakan bahwa:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”
Ketentuan tersebut di atas menunjukkan bahwa suatu perjanjian yang dibuat oleh dua pihak atau lebih melahirkan perikatan tertentu (perikatan yang lahir dari perjanjian).
a. Asas-asas umum dalam perjanjian
Dalam perjanjian, termuat beberapa asas yang menjadi landasan suatu perjanjian. Asas tersebut merupakan pedoman bagi para pihak dalam melakukan suatu perjanjian, sehingga perjanjian yang dibuat memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian.
KUHPdt menetapkan beberapa asas dalam perjanjian sebagai koridor bagi para pihak yang membuat perjanjian hingga menjadi suatu perikatan yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya. Asas-asas dalam perjanjian tersebut adalah:
1) Asas personalia
Asas personalia dapat ditemukan dalam ketentuan dalam ketentuan pasal 1315 KUHPdt:
“Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”
Berdasar rumusan tersebut, dapat diketahui bahwa pada dasarnya perjanjian yang dibuat oleh seseorang sebagai subjek hukum hanya berlaku untuk dirinya sendiri. Secara spesifik, ketentuan tersebut menunjuk pada kewenangan bertindak sebagai individu pribadi untuk bertindak atas namanya sendiri.
Bila merujuk pada ketentuan dalam pasal 1315 KUHPdt tersebut, maka kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu:
a) Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri.
b) Sebagai wakil dari pihak tertentu, yang dapat dibedakan dalam:
1) Merupakan suatu badan hukum dimana orang per orang tersebut bertindak dalam kapasitasnya selaku yang berhak dan berwenang untuk mengikat badan hukum tersebut dengan pihak ketiga.
2) Merupakan perwakilan yang ditetapkan oleh hukum, misalnya dalam bentuk kekuasaan orang tua, wali dari anak dibawah umur, kewenangan kurator untuk mengurus harta pailit.
c) Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang memberikan kuasa.
2) Asas konsensualitas
Substansi asas konsensualitas adalah pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua pihak atau lebih telah mengikat dan karena itu melahirkan kewajiban bagi salah satu pihak atau lebih dalam perjanjian tersebut setelah para pihak mencapai kesepakatan. Berdasar asas ini, perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas. Ketentuan mengenai asas konsensualitas terdapat pasal 1320 KUHPdt yang menyatakan:
“Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat:
a) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c) Suatu pokok persoalan tertentu;
d) Suatu sebab yang tidak terlarang.”
3) Asas kebebasan berkontrak
Asas ini mengatur ketentuan bahwa pada dasarnya para pihak dapat membuat perjanjian atau kesepakatan yang melahirkan kewajiban apa saja sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. Ketentuan pasal 1337 menyebutkan:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.
Ketentuan tersebut memberikan gambaran bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Perjanjian yang dilarang adalah perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar undang-undang atau kesusilaan.
4) Perjanjian berlaku sebagai undang-undang (Pacta Sunt Servande)
Asas ini diatur dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPdt yang menyatakan bahwa:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
Berdasar ketentuan tersebut, maka dapat dipahami bahwa perjanjian yang telah dibuat secara sadar dan berdasar atas kesepakatan masing-masing pihak merupakan undang-undang (peraturan) yang mengikat masing-masing pihak yang membuat perjanjian tersebut.
b. Unsur-unsur dalam perjanjian
Perjanjian yang dibuat sebagai suatu kesepakatan yang mengikat masing-masing pihak yang membuat perjanjian memiliki unsur-unsur tertentu. Unsur-unsur pada suatu perjanjian merupakan penopang bagi suatu perjanjian sehingga dapat mengikat pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Unsur-unsur dalam perjanjian adalah:
1) Unsur esensialia
Unsur esensialia dalam perjanjian mencakup ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak atau lebih yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur esensiali ini umumnya digunakan dalam memberikan rumusan, definisi, atau pengertian dari suatu perjanjian.
2) Unsur naturalia
Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian setelah unsur esensial diketahui secara pasti. Sebagai contoh, dalam perjanjian yang mengandung unsur esensial jual beli akan mendapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat barang atau jasa yang tersembunyi.
3) Unsur aksidentalia
Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak sesuai dengan kehendak para pihak. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Dengan demikian, maka unsur ini pada hakikatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak, misalnya dalam jual beli, ada ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan benda yang dijual atau dibeli
No Comment
Post a Comment